Home » » Mari Kita Lepas, Kita Lepas Jiwa Mencari

Mari Kita Lepas, Kita Lepas Jiwa Mencari

Perempuan dalam Kehidupan Chairil Anwar 

Sri Ajati  yang membuat Chairil Anwar tergila-gila/ Foto Istimewa

'


“Chairil Anwar itu adalah hippie pertama di Indonesia,” ujar Gadis Rasjid.

Perempuan ini adalah wartawan surat kabat Pedoman dan majalah mingguan Siasat. Ia sempat meliput operasi militer penumpasan PKI Madiun 1948. Gadis Rasjid juga pernah secara mendalam mewawancarai Sutan Takdir Alisjahbana. 10 wawancara yang dilakukan Gadis Rasjid dengan tokoh kebudayaan tersebut diterbitkan menjadi buku bertajuk Di Tengah-tengah Perjuangan Kebudayaan Indonesia (1949).
Menurut Ajip Rosidi dalam Mengenang Hidup Orang Lain (2010), Gadis Rasjid adalah seorang pekerja yang ulet. Apa pun yang dipercayakan kepadanya, pasti akan dikerjakan dengan sungguh-sungguh.

“Pada dasarnya dia memang wartawan yang mulai menceburkan dirinya pada awal revolusi kemerdekaan, sehingga mempunyai sikap bebas yang mungkin dianggap kurang cocok oleh sebagian manusia Indonesia sekarang yang pernah mendapat indoktrinasi yang feodalistis,” tambah Ajip.

Gadis Rasjid adalah salah seorang perempuan yang namanya diabadikan oleh Chairil dalam sebuah sajak berjudul “Buat Gadis Rasjid” yang ia tulis tahun 1948. Sajak ini sengaja dipesan Gadis karena mereka memang dekat.

Menurut pandangan Gadis, dalam Chairil Anwar (2016), penyair ini adalah orang yang begitu hidup dan seolah-olah mau merangkul semua kehidupan. Ia juga mengenang Chairil sebagai orang yang senang pada perempuan. “Semua teman wanitanya selalu diperhatikannya,” ujarnya.

Amatan Chairil terhadap Gadis Rasjid yang ia tuangkan dalam sajaknya, menurut Ajip Rosidi, sesuai dengan kepribadian wartawan tersebut. Sikap bebas yang kurang cocok dengan sebagian orang, tetap ia pertahankan.

“Namun sikap itu tetap dipertahankannya karena sebagai bangsa muda yang sudah ‘bisa bilang aku’ tak ada pilihan lain baginya selain ‘Terbang/mengenali gurun/sonder ketemu, sonder mendarat/--the only possible non-stop flight’ dan ‘Tidak mendapat’,” tambah Ajip.

Gadis Rasjid wafat pada 28 April 1988. Ia meninggal karena terluka saat hendak meresmikan pemugaran rumah pengasingan Sutan Sjahrir di Bandaneira.
Menanti Sri yang Selalu Sangsi

Sri Ajati kuliah di jurusan bahasa Belanda, Universitas Indonesia, dari tahun 1940 sampai 1942. Saat Jepang masuk, sekolah dan kampus ditutup. Anak-anak muda kemudian sering berkumpul di gedung Pusat Kebudayaan, termasuk Sri Ajati dan Chairil.

Tahun 1946, bersama suaminya Sri Ajati pindah ke Serang, Banten. Di sanalah ia kedatangan salah seorang anak angkat Bung Sjahrir, dan mengabarkan bahwa Chairil telah membuat sajak untuk dirinya.

Sajak pertama bertitimangsa Maret 1943, berjudul “Hampa”. Di bawah judul tertulis, “untuk Sri yang selalu sangsi”.

“…Sepi memagut/Tak kuasa-berani/melepas diri/Segala menanti/Menanti-menanti/Sepi.”

Sajak kedua berjudul “Senja di Pelabuhan Kecil”. Di bawah judulnya lagi-lagi tertulis, “buat Sri Ajati”.

“…Tiada lagi/Aku sendiri/Berjalan/menyisir semenanjung/masih pengap harap/sekali tiba di ujung/dan sekalian selamat jalan/ dari pantai keempat/sedu penghabisan bisa terdekap.”

Sri kaget, karena ia benar-benar baru mengetahui kalau Chairil membuat sajak untuknya. Setelah pindah lagi ke Jakarta, ia melihat lagi sajak tersebut di surat kabar Pedoman yang dipimpin oleh Rosihan Anwar.

“Saya tidak tahu. Saya baca di Pedoman, di situ saya baca bahwa Chairil itu cinta sama saya, tapi dia tak pernah mengatakan bahwa dia cinta sama saya,” ujarnya saat diwawancara oleh Alwi Shahab.

Sementara Hasan Aspahani dalam Chairil Anwar (2016) menulis kalau pertemuan Sri Ajati dengan Chairil adalah di sebuah studio radio di Universitas Indonesia. Selain Chairil, Sri Ajati juga mengenal Rosihan Anwar, Usmar Ismail, Gadis Rasjid, H.B. Jassin, dan lain-lain.

Menurut H.B. Jassin, seperti dikutip Hasan Aspahani, Sri Ajati adalah perempuan dengan tubuh tinggi semampai, kulitnya hitam manis, rambutnya berombak, kerling matanya sejuk dan dalam.

“Kiranya, pada tahun 40-an, tak ada pemuda yang sehat jiwa raganya yang tidak jatuh hati pada Sri Ajati,” tambah H.B. Jassin.

Menilik tampilan Sri Ajati seperti yang dituturkan H.B. Jassin, tak heran jika Chairil menyukainya. Namun yang mengherankan, berdasarkan pengakuan Sri Ajati, Chairil tak pernah mengungkapkan perasaannya secara langsung.

Apakah kalimat “Sri yang selalu sangsi” adalah keraguan Chairil sendiri untuk mengungkapkan perasaannya?
Sri Ajati meninggal pada 30 Desember 2009.
Tuti, Bahaya yang Lekas Jadi Pudar

Dalam beberapa catatan tentang Chairil, tak diketahui pasti siapa sebetulnya Tuti. Nama yang hampir mendekati Tuti hanya Titi, seperti yang disampaikan Sri Ajati dalam wawancaranya dengan Alwi Shahab.

Dalam Derai-derai Cemara (1999), yang diterbitkan oleh majalah Horison, Asrul Sani menyebutkan bahwa Chairil kerap pergi ke pesta, bergaul dengan anak-anak Indo dan nongkrong di tempat-tempat para pelajar sekolah Belanda biasa berkumpul, salah satunya Toko Artic yang menjual es krim di Jalan Kramat Raya.

Entah siapa Tuti, yang jelas hasrat Chairil tumbuh juga di toko itu. Tahun 1947, ia menulis “Tuti Artic”. Es, susu, coca cola hadir dalam sajaknya. Lebih dari itu, ia tak segan mengutarakan gairahnya:

“Kau pintar benar bercium/ada goresan tinggal terasa/--ketika kita bersepeda/kuantar kau pulang--/Panas darahmu/sungguh lekas kau jadi dara/Mimpi tua bangka/ke langit/lagi menjulang…”

Aroma kisah cinta atau berahi selewatan terasa benar di pengujung baitnya. Chairil seperti tak hendak mengenang dan berlama-lama dengan kisah itu:

“Aku juga seperti kau/semua lekas berlalu/Aku dan Tuti + Greet + Amoi…/hati terlantar/Cinta adalah bahaya/yang lekas jadi pudar.”

***


Tulisan bersambung;
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

++++++
 
Fõrum Bias : Jalan Pesona Satelit Blok O No. 9 Sumenep, Jawa Timur; email: forumbias@gmail.com
Copyright © 2016. Perempuan Laut - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website Inspired Wordpress Hack
Proudly powered by Blogger