Home » » Kehidupan Para Perempuan dalam Puisi Chairil Anwar

Kehidupan Para Perempuan dalam Puisi Chairil Anwar

Oleh: Irfan Teguh 




Bagi Chairil, kelimpahan materi saat bocah, kisah cinta, dan hayat: semuanya lekas pudar.

Pada diri Chairil Anwar ada sepenggal kalimat yang melekat: “lekas jadi pudar”. Sewaktu kecil, dia dibesarkan dengan kelimpahan harta. Bocah ini tak pernah kekurangan makanan dan mainan. Seekor ayam goreng sanggup ia gado sendirian. Mainan terbaik ia dapatkan.

“Lihatlah cinta jingga luntur/Dan aku yang pilih/tinjauan mengabur, daun-daun sekitar gugur/rumah tersembunyi dalam cemara rindang tinggi/pada jendela kaca tiada bayang datang mengambang/gundu, gasing, kuda-kudaan, kapal-kapalan di zaman kanak.”

Sajak itu ia tulis pada 1948 tanpa judul. Meski kemudian, dalam buku Aku Ini Binatang Jalang (2002), sajak itu diberi tajuk “Selama Bulan Menyinari Dadanya”. Pada bait berikutnya, ada kalimat:

“…Kalau datang nanti topan ajaib/menggulingkan gundu, memutarkan gasing, memacu kuda-kudaan, menghembuskan kapal-kapalan…”

Menurut Hasan Aspahani dalam Chairil Anwar (2016), sajak itu adalah gambaran kebahagiaan masa bocah, kelapangan bermain, yang kemudian disadari oleh Chairil akan lekas sirna dilumat “topan ajaib” kehidupan. Ya, kebahagiaan dan keleluasaan yang cepat berlalu.

Dalam urusan asmara, setali tiga uang, Chairil jago memikat dan mudah dipikat perempuan. Gelombang cinta dan berahi mengalir deras, dan pada akhirnya tak dapat ia genggam. Sejumlah nama perempuan ia tulis dalam sajak-sajaknya: Karinah Moordjono, Ida Nasution, Sri Ajati, Gadis Rasjid, Sumirat, Dien Tamaela, Tuti, Ina Mia. Ada pula yang sekadar inisial: H, K, dan Nyonya N.

Dalam pandangan Sjamsulridwan, kawannya sewaktu kecil, Chairil adalah bocah yang cepat matang. Kisah-kisah cabul dalam buku-buku yang didapat dari penyewaan dan film-film yang ditonton di bioskop membuat hasrat Chairil dan kawan-kawannya menggelegak.

“Tetapi pada Chairil penyaluran ini agak kasar kelihatannya,” ujar Sjamsulridwan seperti dikutip Hasan Aspahani dalam Chairil Anwar (2016).
Terkenang Karinah

Meski nama perempuan pertama yang ditulis dalam sajaknya adalah Ida Nasoetion, tapi sesungguhnya yang mula-mula hadir dalam hidupnya adalah Karinah Moordjono. Gadis itu ia kenal saat masih tinggal di Medan. Karinah anak seorang dokter.

Dan Chairil, dengan daya pikat yang dimilikinya, yang kerap melahirkan rasa iri kawan-kawannya karena selalu mampu mendapatkan perhatian gadis tercantik di kelas dan kampung lain, terpikat pada Karinah. Sekali waktu ia teringat pada gadis itu, lalu menulis sajak berjudul “Kenangan”.

“…Halus rapuh ini jalinan kenang/Hancur hilang belum dipegang…”

Chairil menulisnya pada 19 April 1943, saat usianya menginjak 21 tahun dan sudah tak lagi tinggal di Medan. Tak lagi berdekat-dekatan dengan Karinah.

“Ini mungkin cinta yang terlambat untuk sebuah cinta monyet, tapi terlalu lekas untuk sebuah hubungan yang serius. Tapi dari sajaknya kita bisa melihat betapa seriusnya Chairil menjalin hubungan,” tulis Hasan Aspahani.

Cinta awal itu bagi Chairil membangkitkan kenangan, meski “halus rapuh” dan akhirnya “hancur hilang”. Kegagalan hubungan dengan Karinah di usianya yang masih belia, entah berlangsung lama atau sebaliknya, kiranya tetap menyisakan sesal. Sajak itu dipungkas dengan kalimat:

“Menyelubung nyesak penyesalan pernah menyia-nyia”

Ida, Aku Mau Bebas dari Segala

Ida Nasoetion adalah mahasiswi sastra Universitas Indonesia. H.B. Jassin dan Sutan Takdir Alisjahbana memujinya sebagai penulis esai dan kritik sastra yang gemilang. Ia pernah bekerja di kantor bahasa bentukan Jepang. Di tempat itu para sastrawan berkumpul, termasuk Chairil. Dan mudah ditebak, ia jauh hati pada Ida. Kegembiraan menyelimutinya. Harapan berpendaran, ia riang bagai bocah. Februari 1943, ia menulis sajak “Ajakan”:

“Ida/Menembus sudah caya/Udara tebal kabut/Kaca hitam lumut/Pecah pencar sekarang…”
Jika hidup Chairil umpama kabut tebal dan hitam lumut, maka kehadiran Ida membuatnya hilang berganti cahaya yang memecah dan memencar. Masa remaja seolah kembali datang.

“…Mari ria lagi/Tujuh belas tahun kembali/Bersepada sama gandengan/Kita jalani ini jalan…”


Namun, rupanya ajakan Chairil hanya berhenti sebagai ajakan. Sebab Ida tak menyambutnya. Kepada H.B. Jassin ia pernah berkata, “Chairil itu memang binatang jalang yang sesungguhnya. Namun, apa yang bisa diharapkan dari manusia yang tidak keruan itu?”

Meski ucapan Ida tak disampaikan oleh H.B. Jassin kepada Chairil, tapi kiranya penyair itu merasakan juga sikap Ida. 7 Juni 1943, Chairil menulis “Bercerai”. Dua kali ia menulis kalimat: “Kita musti bercerai…”

Sebulan setelah menulis sajak tersebut, Chairil menulis pidato untuk dibacakan di depan Angkatan Baru Pusat kebudayaan, sebuah lembaga kebudayaan yang dibentuk Sukarno pada zaman Jepang. Sekujur naskah dipenuhi nama Ida. Rupanya ia belum ikhlas betul melepaskan perempuan itu. Penulisannya pun tak lazim seperti teks pidato. Untuk hal ini, berikut alasan Chairil:

“Sengaja tidak kuberi bentuk pidato pada pembicaraan ini, karena pidato melepas-renggangkan dari pembicara rasanya. Jadi kucari bentuk lain. Ada teringat akan menerang-jelaskan saja, sambil menganjurkan, sekali-sekali menyatakan pengharapan,” ujar Chairil.

Setelah pembuka, Chairil mengawali bagian pertama pidatonya dengan kalimat, “Ida! Idaku-sayang.” Bagian berikutnya nama itu muncul lagi, “Ida! Rangkaian jiwa, lihat!” lalu dilanjutkan dengan, “Ida! Ida! Ida!” Alinea terakhir pidato dipungkas dengan kalimat pertama, “Sayangku mesra.”

Ida benar-benar telah menawannya. Tak tergapai, tapi begitu kuat membelenggu. Hingga pada 14 Juli 1943, Chairil menulis sajak “Merdeka”:

“Aku mau bebas dari segala/Merdeka/Juga dari Ida…”

Sumpah dan cinta pada Ida yang semula ia percayai, hingga menjadi sumsum dan darah, serta seharian dikunyah-dimamah, pada akhirnya tak membebaskannya.

Kesudahan hidup Ida Nasoetion tragis. Ia hilang saat melakukan perjalanan ke Bogor pada tahun 1948. Koran De Locomotief dan Het Dagblad melaporkan peristiwa itu.

“Seorang esais Indonesia berumur 26 tahun, Ida Nasoetion hilang. Selama delapan hari penyelidikan tetap sejauh ini tanpa hasil. Mereka (Ida dan kawan-kawannya) berangkat pada tanggal 23 Maret di pagi hari dengan kereta api ke Buitenzorg, di mana mereka menghabiskan hari di sekitar Masing, Tjiawi,” tulis De Locomotief.


Tulisan bersambung;
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

++++++
 
Fõrum Bias : Jalan Pesona Satelit Blok O No. 9 Sumenep, Jawa Timur; email: forumbias@gmail.com
Copyright © 2016. Perempuan Laut - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website Inspired Wordpress Hack
Proudly powered by Blogger