Home » » Adakah Kau Selalu Mesra dan Aku Bagimu Indah?

Adakah Kau Selalu Mesra dan Aku Bagimu Indah?

Perempuan Dibalik Kehidupan Chairil Anwar


Chairil Anwar dan istrinya, Hapsah Wiriaredja. (foto: google image)

Sumirat atau biasa dipanggil Mirat belajar melukis kepada S. Sudjojono dan Affandi. Sekali waktu ia dan keluarganya vakansi ke pantai di Cilingcing. Di sana, ia melihat Chairil. Pemuda itu tengah duduk bersandar di sebatang pohon sambil membaca buku tebal.

“Mula-mula tiada menjadi perhatianku, tapi beberapa kali melewatinya, melihat dia tekun membaca tanpa peduli sekelilingnya, benar-benar membuatku heran. Aneh, pikirku, orang-orang bersenang-senang di sini, tapi dia lebih tenggelam dalam bukunya,” ujar Mirat kepada Purnawan Tjondronagoro.

Sikap Chairil yang tak peduli ternyata memikat hatinya. Dalam perjalanan pulang, ia memikirkan Chairil. Terutama membayangkan apa yang tengah bermain dalam angan pemuda itu. Saat ia melukis, wajah Chairil kembali muncul di benaknya.

Sekali waktu, tak lama setelah ia melihat Chairil di pantai, saudaranya datang memberi kabar bahwa pemuda yang menjerat hati Sumirat terkena masalah: dituduh mencuri! Karena ingat akan Sumirat, akhirnya Chairil ditebus oleh saudaranya itu. Si penyair terbebas dari hukuman.

Sementara Sutan Takdir Alisjahbana dalam Perjuangan Tanggung Jawab dalam Kesusastraan (1977) menulis bahwa ia tahu kasus tersebut dari ibunya Chairil.

“Chairil Anwar mencuri sebuah seperai yang terjemur di halaman rumah orang dan ketahuan oleh yang empunya, sehingga ia diadukan kepada polisi dan ditahan. Ibunya kehilangan akal dan minta bantuan kami,” tulisnya.

Sutan Takdir Alisjahbana dan kawan-kawannya kemudian patungan uang seharga seprai yang dicuri Chairil. Salah seorang dari mereka juga mendekati pegawai pengadilan dan mengatakan bahwa pesakitan itu adalah seorang penyair muda yang sangat berbakat dan penting kedudukannya dalam masyarakat. Usaha mereka berhasil, Chairil bebas.

Rupanya orang pegawai pengadilan itu adalah saudaranya Mirat. Dasar Chairil, setelah ditolong, ia jatuh hati pada Mirat. Gayung bersambut.

“Dan dibawanya tumpukan kertasnya yang berisi hasil karya sastranya. Kami berdiskusi, sulit untuk mengalahkan atau membelokkan kemauannya. Dia seorang yang terlampau yakin kepada dirinya sendiri, tegas dan berani. Kukagumi dirinya sepenuh hatiku,” ujar Mirat.

Karena pengangguran, kisah cinta mereka merepotkan keluarga Mirat. Chairil nekad dengan mengikuti kekasihnya itu sampai tinggal berhari-hari di rumah orangtuanya di Jawa Tengah. Orang rumah tidak menyukai Chairil, tapi mereka tak dapat mengusirnya, sehingga mereka meminta bantuan Sutan Takdir Alisjahbana dan kawan-kawan untuk membujuk Chairil meninggalkan rumah dan menjauhi Mirat.

Seperti pada perempuan-perempuan yang lain, Mirat pun tak lepas dari sajak Chairil. Sajak pertama buat Mirat ditulis pada 18 Januari 1944: “Sajak Putih”, di bawahnya tertulis “buat tunanganku Mirat”.

“…Buat Miratku, Ratuku! Kubentuk dunia sendiri/dan kuberi jiwa/segala yang dikira orang mati/di alam ini!/Kucuplah aku terus/kucuplah/dan semburkanlah tenaga dan hidup dalam tubuhku.”

8 Januari 1946, Chairil menulis “Dengan Mirat”. Kiranya tahun tersebut keadaan sudah semakin sulit bagi hubungan Chairil dan Mirat. Terasa ada keraguan dari bait-bait yang ditulisnya:

“…Aku dan dia hanya menjengkau/rakit hitam […] Masih berdekapankah kami/atau mengikut juga bayangan itu?”

September 1946, Chairil menikah dengan Hapsah Wiriaredja dan punya anak, sementara Mirat telah dipersunting seorang dokter tentara. Namun, kenangan akan Mirat rupanya masih melekat dalam benak Chairil. Di tahun yang sama dengan kematiannya, Chairil masih mengingat Mirat, mengenang saat-saat mereka ketika masih dilumuri waktu luang untuk saling suka. Maka ia pun menulis “Mirat Muda, Chairil Muda”.

“Ketawa/diadukannya giginya pada mulut Chiaril;/dan bertanya:/Adakah, adakah kau selalu mesra/dan aku bagimu indah?”


Dien Tamaela Jauh di Pulau

“Beta Pattiradjawane/Yang dijaga datu-datu/Cuma satu…”

Kutipan itu adalah awal dari sajak “Cerita Buat Dien Tamaela” yang ditulis tahun 1946. Menurut Sjumandjaja dalam Aku (1987), Chairil mengenal Dien Tamaela di studio lukis Sudjojono. Perempuan itu adalah putri dari pasangan dokter Lodwijk Tamaela dan Mien Jacomina Pattiradjawane.

Ibu Dien Tamaela tak setuju Chairil mendekati anaknya. Perempuan pujaan Chairil pun tak berumur panjang, Dien Tamaela meninggal pada tahun 1948. Dua tahun sebelumnya, Chairil menulis “Cintaku Jauh di Pulau”. Barangkali mengenang hubungan mereka yang buru-buru selesai karena dirintangi restu orangtua:

“Amboi!/Jalan sudah bertahun kutempuh!/Perahu yang bersama/’kan merapuh!/Mengapa ajal memanggil dulu/Sebelum sempat/berpeluk dengan cintaku?!” 

Gajah, Aku Rindu

Chairil menikah dengan Hapsah Wiriaredja pada September 1946. Dari pernikahan itu lahir Evawani. Menurut anaknya, sebelum menikah dengan Chairil, ibunya tengah didekati seorang dokter. Namun, si penyair gigih melumatkan hati Hapsah sampai akhirnya berhasil ia miliki.

“Chairil memanggil Mamah itu ‘Gajah’ karena memang tinggi-besar, gendut kayak saya sekarang ini, sementara Chairil kan kecil-kurus. Mungkin, kalau dia masih hidup, saya pun akan dipanggilnya Gajah,” ujar Evawani.

Meski hanya Hapsah yang memberinya seorang buah hati, tapi hampir tak ada sebiji pun sajak buat dirinya. Hasan Aspahani yang menulis biografi Chairil berhasil menemukan sebaris sajak buat Hapsah, ditulis tangan tanpa mesin tik dan memakai pensil, berjudul “Buat H”:

“Aku berada kembali di kamar/bersama buku/seperti sebelum bersamamu dulu.”
“Tidak terbit di mana-mana. Namun, sajaknya terdapat di dalam buku kerja Chairil […] Karya-karya yang belum selesai menjelang kematiannya,” ujar Hasan.

Ia menduga sajak tersebut adalah kerinduan yang mendalam terhadap sosok istrinya.

“Dia kangen sama istrinya di hari-hari terakhir jelang kematiannya. Dia kangen pada istri dan rumahnya dulu. Dan ‘Buat H’ menurut H.B. Jassin memang buat Hapsah,” tambahnya.

Damhuri Muhammad dalam pengantar Chairl Anwar (2016) menulis bahwa menjelang kematiannya, Chairil bersemangat untuk mengumpulkan dan menerbitkan sajak-sajaknya. Ia berniat menikahi Hapsah kembali dan membesarkan anaknya.

“Ia rindu ketan srikaya bikinan Hapsah. Royalti dari buku itu ia niatkan untuk menebus kembali perkawinannya yang berantakan. Namun, saat itu pula penyakit parah menyerangnya. Hanya dalam hitungan hari, meriang yang melanda, membuat sekujur tubuhnya hampir membeku. Muntah darah tak sudah-sudah, hingga pada 28 April 1949 ajal datang merenggutnya,” tulis Damhuri.


Chairil Anwar banyak menulis sajak untuk perempuan-perempuan yang dicintainya

Sumber tulisan: https://tirto.id/para-perempuan-dalam-hidup-dan-puisi-chairil-anwar-cJUJ
- 6 Mei 2018




Tulisan bersambung;
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

++++++
 
Fõrum Bias : Jalan Pesona Satelit Blok O No. 9 Sumenep, Jawa Timur; email: forumbias@gmail.com
Copyright © 2016. Perempuan Laut - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website Inspired Wordpress Hack
Proudly powered by Blogger