Cerpen Ayis Bhirawa
|
Ilustrasi (lukisan Ardiansyah) |
“Kau tak mengerti apapun !”
Tak ada jawaban. Lelaki itu hanya membisu.
“Kalau kau mencintaiku, bawa aku pergi dari tempat ini !”
Lelaki itu menatap perempuan cantik di sampingnya dan merengkuhnya. Kemudian mereka berciuman. Saling melumat bibir. “Aku pasti akan membawamu pergi dari sini !” bisiknya.
Di luar, malam semakin larut. Jalanan mulai lengang. Angin yang berhembus terasa dingin mencucuk tulang. Namun tidak bagi penghuni kawasan lokalisasi itu. Setiap malam selalu hangat di bawah ketiak para lelaki hidung belang. Sesekali terdengar rintihan manja dari perempuan kamar sebelah. Lelaki dan perempuan cantik itu bercinta sampai pagi seperti yang dilakukan oleh kamar sebelah.
“Ning, tadi malam elo kan dapat tamu. Bayar dong hutang lo yang kemarin !”
Perempuan yang dipanggil Ning itu tak menyahut. Tangannya terus sibuk menjemur pakaian yang baru saja dicuci. “Ning elo denger kagak !”. Ning tetap diam. Perempuan itu mulai kesal. Entah kapan, tahu-tahu tangan perempuan itu sudah menjambak rambut Ning. Ning meronta-ronta kesakitan, berusaha melepaskan jambakan itu. Ember cuciannya jatuh kena tendang.
“ lepasin dong, pasti gue bayar !”teriak Ning kesakitan.
“Enggak, lo harus bayar sekarang. Kalo kagak bayar.. !” ancam perempuan itu. Sementara itu tangannya semakin keras menarik rambut Ning. Ning menjerit kesakitan. Tidak ada jalan lain, akhirnya Ning menggigit tangan yang menjambak rambutnya. Setelah lepas, Ning membalas menjambak perempuan itu. Perempuan itu menjerit. Tangannya mengapai-gapai rambut Ning. Mereka saling menjambak rambut dan berteriak kesakitan.
Pergumulan itu mengundang perhatian orang-orang di sekelilingnya. Tetapi mereka tidak berusaha memisahkan keduanya. Mereka hanya menonton dan berteriak-teriak ngomporin saja.
“Ning hajar terus tuh perek !” ujar salah seorang mendukung Ning yang memang membenci perempuan itu. Ning tambah semangat setelah tahu ada yang mendukungnya. Tangan Ning terkepal dan meninju perut perempuan itu berkali- kali hingga perempuan itu jatuh terduduk.
“Hutang lo gue bayar besok !” ujar Ning dengan nafas tersengal-sengal. Perempuan itu terdiam. Tangannya memegangi perutnya yang sakit kena tinju. Untung gue pernah belajar silat dulu, bisik Ning dalam hati.
*************
Setelah
pertengkaran itu, Ning kembali ke kamarnya. Di dalam kamar Ning menangis. Ning
berpikir, kenapa nasibnya begitu buruk ?. Mungkin ibunya waktu melahirkan
dirinya, terkena kutukan. Ah, pada saat ini, Ning merindukan orang yang
dicintainya. Ning ingin sekali memeluk orang itu dan menciumi aroma tubuhnya
yang khas. Tapi untuk bertemu dengan orang itu pun, Ning harus menunggu
beberapa hari lagi. Menunggu istrinya ke luar kota untuk urusan bisnis.
Ya Tuhan,
kenapa untuk soal cinta pun Kau juga lukai aku ?. Setelah Kau lukai aku dengan
kenyataan bahwa ayahku yang menjualku ke tempat terkutuk ini ?. Setelah Kau
lukai aku bahwa aku adalah pelacur ?. Setelah Kau lukai aku dengan mengambil
ibuku, satu-satunya hartaku yang paling berharga ?. Apa salahku Tuhan ?.
Mengapa Kau terus memberiku kemalangan ?. Bahkan untuk urusan sabun pun aku
harus berhutang, padahal aku setiap malam terpaksa merelakan kehormatanku
diinjak-injak para pria hidung belang.
Ning
membiarkan dirinya tenggelam dalam tangisan. Untuk mengurangi kesedihannya,
Ning melamunkan kekasihnya. Melamunkan pertemuan pertama mereka. Melamunkan
cinta mereka. Melamunkan alangkah indahnya bila Ning seperti perempuan lainnya.
Mencintai, menikah dan melahirkan anak serta menjadi istri dan ibu yang baik.
Dan Ning melamunkan andai saja ia dan pria yang sangat dicintainya itu bisa
menikah. Meski menjadi istri kedua, biarlah, yang penting Ning bisa hidup
bersamanya.
Terkadang
Ning ingin membunuh dirinya sendiri. Tapi tidak, Ning tidak boleh mati. Ning
harus tetap hidup. Setidaknya untuk meraih sedikit harapan Ning. Setidaknya
untuk kekasih yang sangat dicintainya itu.
***************
“Ning !”.
Terdengar ketukan di pintu. Ning membuka pintu dan terlihat olehnya sosok tubuh
seorang pria. Ning mempersilahkannya masuk. Pria itu memeluk Ning dari
belakang. Hidungnya menciumi rambut dan tengkuk Ning. Ning menolak ciuman itu
dan melepaskan diri dari pelukan yang dirasanya semakin membuat dirinya
terlena.
“Kenapa Ning
?” tanya pria itu heran.
“Jangan malam
ini, kepalaku sakit !”ujar Ning sambil memijit kepalanya yang tiba-tiba terasa sakit. Pria itu duduk di tepi ranjang
dan memandang Ning.
“Kemarilah”.
Ning menurut dan duduk di samping pria itu.
“Apa yang
terjadi, katakan padaku ?”tanya pria itu. Tangannya membelai rambut Ning dan
merengkuhnya ke dalam pelukannya. Ning mencoba menentang tatapan mata pria itu,
tapi tidak bisa. Ning merasa bukan hanya kepalanya saja yang sakit, tetapi juga
hatinya. Ning merasa hatinya sakit sekali. Akhirnya Ning menangis sesegukan di
pelukan pria itu. Ning merasa damai di sana. Pria itu semakin mempererat
pelukannya.
“Cepat bawa
aku. Aku sudah tidak tahan”, akhirnya Ning berkata. Pria itu terdiam dan
melepaskan pelukannya. Ning terkejut. “Kenapa mas, apa ada masalah ?”.
“Aku sudah
bercerai dengan istriku tiga hari yang lalu “
Mata Ning
membelalak. Terkejut. “Apa karena aku ?”
“Bukan. Dia
sudah tahu hubungan kita sejak lama, tapi dia diam saja. Dan dia pernah
membicarakan padaku tentang kau. Dari ucapannya aku tahu kalau dia tidak bisa
membencimu “
“Maafkan aku,
mas !”. Ning merasa bersalah sebab bagaimanapun juga dialah penyebab perceraian
pria itu dengan istrinya. Meski pria itu adalah orang yang sangat dicintainya.
Ning tidak dapat hidup tanpanya.
“Bukan
salahmu Ning. Di antara kami sejak lama sudah tidak ada lagi yang patut
dipertahankan. Aku tahu, istriku tidak mencintai aku, tapi dia mencintai
kekasihnya yang dulu sebelum kami menikah. Dan dia tetap berhubungan dengan
kekasihnya itu. Begitu juga dengan aku. Aku mencintai kamu dan tetap
berhubungan denganmu”.
Ning diam
mendengar penjelasan pria itu. Ning sangsi, benarkah apa yang dikatakannya ?.
Ning tetap merasa bersalah. Pria itu merengut melihat wajah Ning yang seakan
tak percaya dengan penjelasannya.
“Ah
Ning, kau tak percaya padaku ?”
“Ya !” jawab
Ning.
“Ning, aku
tidak melepaskan istriku. Tapi kami yang saling melepaskan. Ini untuk
menghindari kesalahan yang lebih besar lagi. Aku ingin istriku bahagia dengan
orang yang dicintainya. Tapi aku juga ingin bahagia bersamamu. Boleh kan Ning
?”
Ning tetap
diam. Membuat pria itu kesal dan gemas. Dipeluknya Ning dan menciumi wajah Ning
bertubi-tubi. “Ning kalau kau masih tak percaya, besok pagi aku akan datang ke
mamimu dan menebusmu. Terus besok lusa kita menikah di KUA !” bisiknya.
Ning
terjingkat. “Benar, mas ?.
“Tentu saja
!”jawab pria itu. tersenyum.
Mata Ning
berkaca-kaca. Antara tak percaya dan bahagia. Dipeluknya pria itu mesra.
“Terima kasih mas “.
“Bagaimana
kalau kita ke luar malam ini. Kita bercinta malam ini bersama angin malam di
luar” tawar pria itu. Ning mengangguk.
“Tentu saja.
Kita rayakan kebahagiaan ini di luar !”
***************
Malam itu merupakan malam yang terindah bagi
Ning dan kekasihnya. Bulan bersinar penuh seakan mewakili hati mereka berdua.
Angin bertiup sepoi-sepoi menyejukkan.
Setelah
makan, mereka jalan-jalan keliling kota. Menikmati bulan, menikmati bintang,
menikmati kota dan menikmati indahnya malam. Mereka merasa bebas kini, tidak
perlu lagi sembunyi-sembunyi untuk menikmati cinta mereka. Gerbang kebahagiaan
sudah ada di depan mata.
Ketika Ning
dan kekasihnya berjalan di jalan yang sepi, mereka tidak tahu kalau ada sebuah
mobil melaju kencang di belakang mereka. Pengemudi mobil itu adalah perempuan
yang bertengkar dengan Ning tempo hari. Perempuan itu sangat benci dan dendam
kepada Ning. Melihat Ning berjalan dengan kekasihnya, timbul pikiran jahat
merasuki otaknya. Perempuan itu berniat menabrak Ning dan kekasihnya.
Perempuan itu
menancap gas dan melaju dengan kecepatan tinggi. Dan …… Ning dan kekasihnya
tidak perlu lagi menikah. Sebab Tuhan telah menikahkan mereka melalui tangan
malaikat maut. Dan Tuhan menyatukan jiwa mereka, entah di surga ataupun di
neraka. Hanya Tuhan yang tahu.
Sedang
pengemudi itu tetap melaju kencang. Meninggalkan tubuh Ning dan kekasihnya
bersimbah darah dan tergeletak di jalan yang sepi itu.
***************