Dellorie, Penyair yang Mengundurkan Diri dari Puisi Esai

Jumat, 18 Mei 2018


Dellorie Ahada Nakatama
Setelah viral nama beberapa penyair perempuan yang mengundurkan diri dari proyek puisi esai, tim redaksi puan.co mencoba menghubungi Ayu Harahap (sumut) dan Dellorie Ahada Nakatama (Sumbar). Melalui pesan facebook-nya pada Kamis (18/01), Ayu Harahap menuliskan, “ Maaf Mbak. Ayu sedang tak mau terlibat lagi untuk urusan apa pun mengenai ini. Terima kasih.”

Penelusuran pun dilanjutkan kepada penyair perempuan asal Aceh yang namanya tercatat sebagai penulis puisi esai – D. Kemalawati. Melalui pesan Whatsapp (WA), D. Kemalawati membalas, “Tidak usah dulu ya! Saya sedang konsentrasi dengan pekerjaan.”

Lalu, dilanjutkan ke Dellorie Ahada Nakatama. Perempuan asal Sumbar yang sehari-hari bekerja sebagai staff di sekretariat DPRD Kabupaten Lima puluh Kota ini mengakui bahwa pengunduran dirinya bukan atas intervensi berbagai pihak, namun lahir dari kesadaran dirinya.

Awalnya, Dellorie tak pernah tahu apa itu puisi esai. Saat di perjalanan menuju acara HPI di Bukittinggi, ia menerima sebuah tawaran dari koordinator puisi esai Sumbar – Muhammad Ibrahim Ilyas – melalui telepon genggamnya. Dellorie mengiyakan tawaran tersebut dengan penuh keraguan. Dikirimlah beberapa contoh puisi esai melalui WA untuk dipelajari selama satu minggu.


“Esok paginya, saya juga belum memberi kabar karena belum ngeh sampai akhirnya saya ditelpon lagi. Saat penelponan kedua, saya menolak ikut karena waktunya mepet. Selain itu, saya juga sibuk kerja. Setelah melihat nama-nama besar di proyek penulisan itu, saya berpikir dalam hati bahwa saya takut nantinya,  jika karya saya tidak sesuai, saya akan membikin malu koordinator provinsi. Namun, Om Bram bilang saya bisa dan pasti bisa. Karena saya sudah menganggap Om Bram seperti orang tua sendiri, akhirnya saya iyakan tanpa tahu lebih dalam apa itu puisi esai DJA,” kata Dellorie

Di tengah kesibukannya,  Dellorie menyempatkan diri menulis puisi esai. Ia menulis tentang ibu tua – yang terpaksa mengemis demi bertahan hidup – pada dasarnya, hal ini sangat bertentangan dengan kodrat perempuan minang, yang sering digaungkan bahwa perempuan minang memiliki kuasa tertinggi di dalam rumah gadang, termasuk pembagian harta di kaumnya.

Setelah deadline tiba, Dellorie mengirimkan sinopsis puisi esai ke panitia. Beberapa hari kemudian, ia menerima buku puisi esai DJA, uang pangkal sebesar Rp1 juta, serta surat perjanjian kontrak penulisan puisi esai. Dellorie baru mengetahui bahwa ia akan dibayar Rp5 juta.

Dari awal mendapat tawaran menulis puisi esai,  Dellorie memang belum tahu latar belakang DJA meski sering melihat namanya muncul di beranda facebook.

“Karena sejatinya dari awal, saya sudah tak menyukai puisi esai yang baru saya kenal. Walaupun jujur, bagi saya menulis puisi esai itu gampang. Tinggal mencari bahan yang mau ditulis, membuat bahasa seindah mungkin, kemudian dibuat dalam versi panjang sepanjang-panjangnya dengan mencari kata yang perlu dibubuhi catatan kaki. Bisa dibilang, pengunduran diri ini murni atas keinginan pribadi, terlepas saya pasti menjaga nama-nama yang saya kenal baik di dunia kesusastraan,” ucapnya.

Dellorie menambahkan bahwa ia sama sekali tidak menyesal atas pengunduran dirinya, dalam artian ia sekaligus akan kehilangan uang Rp5 juta. “Buat apa uang Rp5 juta, tetapi batin menolak dan menanggung malu sepanjang hidup karena pernah terlibat politik sastra,” tambahnya.

Penolakan batin Dellorie muncul sejak ia membaca status facebook Malkan Junaidi. Dalam statusnya, Malkan menuliskan bahwa ia akan menendang teman-teman yang ketahuan mengikuti proyek DJA. Puncaknya, setelah ia gabung di grup WA Kedai Penyair Muda Indonesia. Dari sana, ia mempelajari dan menimbang-nimbang dengan sangat lama, hingga akhirnya menyimpulkan bahwa ia harus bercerita kepada seniornya, yakni Iyut Fitra atau yang akrab disapa Kuyut.

“Di malam sebelum saya menemui Kuyut, ternyata ia telah menelusuri nama-nama penulis puisi esai asal Sumbar. Kuyut sangat kaget ada nama saya karena saya adalah salah satu anggotanya di Komunitas Tanah Rawa. Lalu Kuyut menelpon Heru Joni Putra (HJP). Otomatis, awalnya mereka kecewa karena mereka tahu bahwa saya memang tidak tahu banyak tentang polemik sastra Indonesia masa kini. Di malam saya bertemu Kuyut dan HJP, saya diberi pengarahan hingga pukul 03.00 dini hari. Saya menyesal tidak bertanya kepada Kuyut sebelum akhirnya saya menyetujui tawaran menulis puisi esai. Selain Kuyut dan HJP, Esha Tegar, dan teman penyair lainnya juga membantu mengarahkan saya,” ungkapnya.

Lalu Dellorie membuat surat pengunduran dirinya di atas meterai. Surat itu kemudian ia kirimkan ke Fatin Hamama – koordinator puisi esai Indonesia bagian barat – melalui WA. Kuyut dan beberapa teman-teman Sumbar akhirnya yakin bahwa Dellorie benar-benar telah membatalkan kontrak. Sebab ia tak menerima sisa Rp4 juta yang dijanjikan. Sementara dalam perjanjian, setelah puisi esai selesai dikirim ke panitia, sang penulis akan menerima uang pelunasan yang dijanjikan. Dellorie kemudian hendak mengembalikan uang pangkal Rp1 juta yang telah ia terima.

“Pengembalian uang ini awalnya dipersulit. Dari Om Bram dilempar ke Fatin, dari Fatin dilempar ke Om Bram, Om Bram kemudian melempar ke Fatin lagi. Akhirnya, Kuyut menelpon Om Bram. Dari situlah, Om Bram mau menerima pengembalian uang pangkal dan disetujui Fatin Hamama,” kata Dellorie.

Dellorie menambahkan jika memang puisinya kelak tetap dimuat di buku puisi esai Sumbar, dirinya pasti akan menuntut. “Sebab saya sudah bikin pernyataan pengunduran diri sebelum dikirim uang pelunasan sebesar Rp4 juta dan saya jug telah mengembalikan yang Rp1 juta,” kata Dellorie.

Menurut Dellorie, idealnya kerja di dalam sastra sebagai profesi adalah yang memang berjuang di dalamnya. Yang setiap karya butuh proses dan diseleksi lalu dinyatakan menang sehingga mendapatkan fee. Misalnya saja saat mengirimkan tulisan di media, di sana ada sistem seleksi.

“Kalau proyek DJA ini memang orang-orang pilihan dan lurus-lurus saja, saya yakin, saya bukanlah orang yang tepat untuk dipilih. Sebab Payakumbuh adalah gudangnya para penyair. Tentu mereka banyak pilihan untuk menghubungi yang lebih senior dan lebih punya nama. Dari sini, saya menyadari bahwa ada sesuatu yang ganjil,” ungkap Dellorie. Kini, nama Dellorie Ahada Nakatama tercatat sebagai salah satu publik sastra yang menandatangani petisi penolakan puisi esai yang digagas oleh penyair muda Indonesia. (sumber: http://puan.co/)

Seterusnya.. | komentar

"Mutiara yang Terserak" Diluncurkan

Sabtu, 10 Februari 2018

Para penulis dan Lilik Rosida Irmawati (ujung kanan)
Sebagai agen gerakan literasi di Sumenep, Rumah Literasi Sumenep  telah meluncurkan buku Bunga Rampai Cerita Rakyat Sumenep “Mutiara yang Terserak” di aula Kominfo Sabtu pagi, 10 Pebruari 2018

Menurut Ketua RULIS, Lilik Rosida Irmawati, latar penerbitan buku ini  sebelumnya diawali dari Sayembara Penulisan Rakyat Sumenep 2017 yang diikuti para guru. “Memang pesertanya disyaratkan  sebagai guru”.

Mengambil tema cerita rakyat ini menurutnya untuk memberi ruang kreatifitas pada guru, agar ikut peduli untuk menggali dan mengembangkan kearifan lokal Madura dalam bentuk kisah atau cerita, karena selama ini dinilai cetakan buku cerita rakyat jarang dan langka diterbitkan.

Penerbitan buku kearifan lokal Madura dalam bentuk cerita rakyat merupakan salah satu cara untuk menanamkan nilai-nilai dan konsepsi-konsepsi ditengah masyarakat, dan kemudian diyakini sebagai blue-print yang menjadi penuntun dalam perjalanan hidup seseorang maupun masyarakat setempat.

Nilai dan konsepsi itulah yang kemudian menjadi pedoman dalam mepertimbangkan tingkah laku dalam wilayah kebudayaan oleh pewarisnya. Tingkah laku setiap individu dan kelompok melalui ekspresi-ekspresi simbolik mereka merupakan cara bagaimana manusia dapat berkomunikasi, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan dan sikapnya terhadap kehidupan.

Dari pemikiran inilah Rumah Literasi Sumenep berusaha menjembatani keinginan bersama melalui Sayembara Menulis Cerita Rakyat Sumenep tahun 2017, yang kemudian direpresentasikan dalam bunga rampai cerita rakyat sebagaimana dalam penerbitan buku ini.
Sebagai tindak lanjut dari tahapan tersebut sayembara yang diikuti 32 naskah yang masuk dan kemudian dipilih dan ditetapkan oleh dewan juri, maka  delapan guru penulis dikategorikan layak terbit setelah dilakukan seleksi dengan ketat, yakni cerita rakyat berjudul  Asal Mula Sumur Tanto, (Abd. Warits); Tembuk Olo-Olo (Moh. Rasul Maulidi); Rama Kaè, Ramalan Musim, dan Penantian yang Tak Bisa Dihentikan (Faidi Rizal); Asal Usul Desa Lombang (Khairul Umam); Kepak Sayap Sang Kuda Terbang  (Akhmad Asy’ari); Kisah Pangeran Jaka Lombang dan Puteri Cemara Udang (Ngati Ati); Pottrè Konèng , Takdir Keajaiban dan Derai Airmata  (Rusdi); dan Petualangan Sang Tokoh Legendaris (Sri Suryani).

Lebih jauh, dari penulisan cerita rakyat Sumenep ini, paling tidak telah menyelamatkan dan mendokumentasikan aset budaya yang mayoritas dipelihara secara tutur-tinular. Secara garis besar, kehadiran bunga rampai ini selain bertujuan menyelamatkan aset budaya daerah juga mengomunikasikan kembali cerita tutur yang ada ke dalam bentuk teks sehingga menggugah motivasi pihak lain yang sesenergi untuk ikut serta mengemas cerita tutur yang bermunculan di masyarakat Sumenep menjadi tulisan dan lebih terpelihara.(rulis)








Seterusnya.. | komentar

Inikah Penulis Perempuan Inggris Terbaik

Minggu, 08 Oktober 2017

George Eliot atau Mary Ann Evans dengan karyanya, Middlemarch, berada di posisi satu dalam 
daftar 100 novel Inggris terbaik.
Novelis-novelis terhebat asal Inggris adalah para perempuan. Begitulah hasil dari polling atau jajak pendapat para kritikus BBC Culture tentang 100 novel Inggris terbaik, dan Middlemarch karya George Eliot ada di posisi satu, diikuti oleh To The Lighthouse dan Mrs Dalloway karya Virginia Woold, Jane Eyre dari Charlotte Bronte, Wuthering Heights dari Emily Bronte, dan Frankenstein karya Mary Shelley juga masuk di 10 besar, sehingga hanya ada dua penulis pria di sana: Charles Dickens dengan Great Expectations, Bleak House, dan David Copperfield, serta William Makepeace Thackeray dengan Vanity Fair.

Amati lebih jauh lagi, dan Anda akan melihat bahwa buku yang ditulis perempuan hampir mengisi separuh dari daftar 20 besar hasil polling tersebut. Lihat lebih jauh lagi ke bawah sampai ke nomor 100, dan hampir 40 persen – sebuah pencapaian karena kritikus kami memilih karya yang bertahan di zaman itu, dan ditulis pada masa di mana dibutuhkan lebih banyak keberanian dan kegigihan buat perempuan untuk menulis karya dibanding penulis laki-laki. (Middlemarch memang berada di posisi satu, tapi jangan lupa, Mary Ann Evans merasa bahwa dia harus menerbitkan buku dengan menggunakan nama pria.) Hampir sepertiga dari judul buku dalam daftar tersebut berasal dari abad 18-19, dan 22 lainnya terbit sebelum 1950.

Hanya 13 novel yang berasal dari abad ini, dan dari era ini pun, mayoritasnya adalah perempuan. Dua dari tiga yang terbaru, semua terbit pada 2012, ditulis oleh perempuan: There but for the oleh Ali Smith dan NW oleh Zadie Smith (yang ketiga adalah novel Patrick Melrose karya Edward St Aubyn). Perempuan juga menjadi mayoritas dari tiga penulis terbaik yang masih hidup saat ini: bersama dengan Alan Hollinghurst, Zadie Smith dan Jeanette Winterson masing-masing punya dua buku. Dan penulis mana yang 'menang' dalam hal jumlah buku yang terpilih? Lagi-lagi perempuan, karena Woolf dan Austen, bersama dengan Dickens, masing-masing punya empat judul buku di daftar terbaik ini.

Perempuan unggul

Hasil ini kontras dengan sebagian besar polling serupa dalam satu dekade terakhir. Saat BBC mengenalkan Big Read pada 2003 untuk mencari novel terfavorit di Inggris, hanya empat buku dari penulis perempuan yang masuk ke 10 besar. Pada 2008, the Times mencari 50 Penulis Terhebat Inggris sejak 1945. Hasilnya? Hanya seperempat yang perempuan. Pada 2014, the Telegraph mendafar 20 Novel Inggris dan Irlandia Terbaik Sepanjang Masa, termasuk delapan perempuan – jumlah yang lebih mewakili tapi masih kurang dari 50% dan sayangnya tidak mengindikasikan sebuah tren.

Awal tahun ini, saat koran yang sama membuat daftar baru lagi – 100 Novel Yang Harus Dibaca Semua Orang – penulis perempuan hanya tiga dari 10 buku teratas, dan 19 penulis perempuan dari 100 dalam daftar. Sementara, kritikus sastra utama The Observer, Robert McCrum, menghabiskan dua tahun untuk mendaftar 100 novel terbaik dalam bahasa Inggris. Saat dia menerbitkan 10 novel terbaik sepanjang masa versinya pada bulan Agustus, dia hanya menyebut empat penulis perempuan. Dan secara keseluruhan, karya dari penulis perempuan hanya ada satu dari setiap lima judul pilihannya.
Zadie Smith memiliki dua buku dalam daftar 100 novel Inggris terbaik.
Jadi apa yang menyebabkan hasil temuan polling BBC Culture ini? Pertama, fokusnya adalah pada karya sastra Inggris, dan bukan karya internasional atau sastra berbahasa Inggris. Perbedaan lain adalah ini tidak membatasi diri pada periode waktu khusus, tapi mencatat semuanya dari Robinson Crusoe karya Daniel Defoe pada 1719 yang dipercaya adalah novel berbahasa Inggris pertama, sampai karya yang muncul pada dekade ini. Namun perbedaan ini belum menjelaskan bagaimana polling kami ini bisa menghasilkan lebih banyak karya dari penulis perempuan – bahkan tak bisa menjelaskan sama sekali. Selain itu, Amerika punya tradisi mengkilap soal penulis perempuan, dan jauh lebih mudah bagi perempuan untuk menjadi penulis dan memiliki karir sejak 1945 – awal mula daftar the Times – daripada sebelumnya.

Salah satu perbedaan utama antara polling BBC Culture dan daftar lainnya adalah bahwa daftar ini disusun secara eksklusif dari kritikus non-Inggris. Terbagi secara merata dari soal gender, dan berasal dari negara-negara termasuk Amerika Serikat, Kanada, Australia, Denmark dan India.


Penghargaan Buku

Secara kolektif, sudut pandang mereka sebagai orang luar menegaskan aspek penting dalam budaya sastra Inggris. Daftar ini menguatkan bahwa cengkeraman internasional dari berbagai penghargaan buku Inggris terutama saat mempromosikan buku di luar negeri dan menegaskan reputasi. Dari judul-judul abad 21 yang masuk dalam daftar, Small Island karya Andrea Levy memenangkan Bailey's Women Prize for Fiction (saat itu dikenal sebagai Orange Prize), dan White Teeth dari Zadie Smith memenangkan, beberapa di antaranya, Costa Novel Award (saat itu bernama Whitbread). The Line of Beauty karya Hollinghurst, Wolf Hall karya Hilary Mantel dan The Sense of an Ending karya Julian Barnes semuanya memenangkan Man Booker Prize, dan Atonement karya Ian McEwan, The Little Stranger karya Sarah Waters, dan Brick Lane karya Monica Ali juga masuk nominasi.
Empat novel karya Virginia Woolf masuk dalam daftar 100 novel terbaik Inggris pilihan kritikus asing.
Namun yang lebih penting, bagi orang luar daripada orang Inggris, lansekap sastra Inggris terlihat lebih didominasi oleh perempuan. Kenapa? Karena rangkaian karya perempuan dalam daftar ini menghancurkan upaya untuk melakukan generalisasi. Ada karya klasik feminis seperti The Golden Notebook karya Doris Lessing, karya era tertentu seperti Excellent Women karya Barbara Pym, dan buku-buku yang butuh dibaca luas – seperti A Legacy dari Sybille Bedford. Saya bersorak gembira ketika melihat Old Filth karya Jane Gardam di nomor 71; salah satu catatan terbaik tentang bagaimana keinggrisan berubah dalam 100 tahun terakhir – bacaan menyenangkan sejak dari awalnya yang tajam dan sinis sampai akhirnya yang seperti elegi.

Tapi, mungkin saja, semua kritik yang biasanya ditujukan pada 'tulisan perempuan' masih tetap berlaku di kalangan pembaca asing. Fokus domestik dan kanvas yang kecil? Dua-duanya adalah bahan dasar untuk fiksi yang bisa menceritakan tema-tema universal seperti hubungan antar manusia, anak-anak, dan kehidupan internal yang kaya.

Kita pun tak seharusnya melupakan bahwa kritikus diminta untuk mengidentifikasi novel Inggris terbaik, bukan hanya novel terbaik yang kebetulan ditulis oleh penulis asal Inggris. Mungkinkan bahwa aspek perempuan – seperti, kecenderungan untuk melihat diri sebagai pihak yang diremehkan – bisa cocok dengan aspek karakter nasional Inggris, sehingga menghasilkan esensi yang kemudian dicari oleh pembaca dari luar negeri pada novel yang khas Inggris? Penjelasan yang lebih mungkin adalah, begitu banyak generasi penulis perempuan yang merasa dirinya dua kali menjadi orang luar atau outsider – dari jenis kelamin dan profesi kreatif – sehingga hasil pengamatan mereka menarik buat orang asing lainnya.

Tapi mungkin yang paling penting adalah fakta mendasar bahwa kritikus yang ditanya tidak tinggal di Inggris. Karena bukan hanya polling yang menyatakan bahwa penulis terbaik kita adalah para pria. Beberapa upaya dilakukan di penerbitan AS seperti di Paris Review dan New York Times Book Review untuk mengoreksi ketidakseimbangan gender dalam soal buku yang dibahas dan peresensi yang direkrut, tapi London Review of Books masih ketinggalan.

Sampai tahun lalu, 82% dari semua artikel yang ditulis di LRB ditulis oleh pria, dan perubahan masih terjadi secara pelan. Bagi siapapun yang mendalami budaya sastra London, mungkin Ian McEwan, Salman Rushdie dan Kazuo Ishiguro akan mendominasi, namun dalam polling kami, masing-masing penulis ini hanya punya satu judul (Atonement,Midnight’s Children dan Never Let Me Go). Dan Martin Amis malah tidak disebut sama sekali, sementara ayahnya, Kingsley, punya satu judul dari buku debutnya Lucky Jim. Yang juga tak terlihat dalam polling tersebut adalah Will Self.

Daftar terbaik seringnya menimbulkan kemarahan tapi juga membuat orang tertarik – terutama yang mendaftar sesuatu yang subjektif, seperti novel. Tapi secara keseluruhan, polling ini mengkonfirmasi sesuatu yang dikatakan oleh Virginia Woolf pada 80 tahun lalu di A Room of One's Own: masalahnya bukanlah perempuan penulis Inggris tak menghasilkan karya yang kuat dan bermakna dengan orisinalitas yang mengagumkan, bobot intelektual, dan kesan emosional yang kuat. Masalahnya adalah dunia sastra, bahkan sampai sekarang, masih ragu-ragu untuk mengakui pencapaian itu.

Sumber: http://www.bbc.com/indonesi


Seterusnya.. | komentar

Pemberdayaan Perempuan Berawal dari Pikiran Perempuan Sendiri

Rabu, 20 September 2017


oleh Iffatul Hidayah
Iffatul Hidayah

Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam di Indonesia yang bertugas untuk mensosialisasikan nilai-nilai Islam yang universal tersebut. Tatapan Islam yang sangat memberdayakan perempuan tersebut berimplikasi pada pola pengembangan pendidikan yang mendukung upaya pemberdayaan perempuan.

Dengan demikian, idealnya pendidikan pesantren diorientasikan untuk mengarahkan, membimbing dan menuntun anak perempuan sebagai peserta didik, supaya mampu berdiri sendiri atau mandiri, kreatif dan bertanggung jawab. Sebagaimana yang diungkapkan John Dewey, bahwa melalui pendidikan setiap individu seharusnya memiliki kesempatan untuk menggunakan kekuatan yang dimilikinya untuk melakukan kegiatan yang berarti (Hook dalam Ratnasari, 2016).

Pada dasarnya tujuan dari pendidikan adalah untuk membangkitkan nilai kritis yang akan membantu masyarakat dalam memperjuangkan nilai keadilan. Oleh karena itu dengan adanya pendidikan berbasis pesantren seharusnya mampu membangkitkan kesadaran kritis peserta didiknya, dan dapat dijadikan sebagai wahana untuk memberdayakan perempuan. Namun pendidikan di pesantren yang terjadi selama ini belum memberdayakan perempuan. Hal ini dapat dilihat melalui beberapa hal diantaranya adalah kurikulum yang tidak sensitive gender dan metode yang digunakaan masih bersifat indoktrinasi.

Untuk mendukung adanya pemaparan diatas bisa kita lihat dari metode pengajar di pesantren tradisional yang masih sangat melekat dengan pengajaran kitab kuningnya. Dalam diri mereka terdapat keyakinan bahwa ajaran-ajaran yang terkandung dalam kitab kuning merupakan pedoman hidup yang relevan. Salah satu persoalan yang sampai saat ini masih menjadi pertentangan yaitu mengenai laki-laki dan perempuan.

Menurut Masdar F. Mas’udi, kitab kuning yang secara umum dikaji oleh pesantren tradisional menggambarkan perempuan sebagai makhluk yang separuh harganya dibandingkan dengan laki-laki. Diantara contohnya, fiqih yang mengajarkan orang tua untuk membeli dua ekor kambing pada kelahiran anaknya yang laki-laki, tapi hanya satu ekor kambing untuk kelahiran anak perempuan. Dari argument tersebut terdapat pernyataan bahwa terjadi perbedaan antara perempuan dan laki-laki, akan tetapi itu semua tergantung bagaimana cara kita mempersepsikan sebuah kalimat tersebut, karena tidak semua pernyataan hanya bisa bisa dilihat dari satu sisi saja, melainkan banyak hal yang mesti kita kaji agar tidak ada kesalahan dalam menafsirkan sebuah kalimat.

Meskipun demikian, tidak berarti kitab kuning dengan segala pemikirannya harus dinilai buruk dan di musnahkan melainkan kita harus melastarikan kitab tersebut hanya saja kita perlu merubah sedikit pemikiran kita sesuai dengan tuntutan zaman. Karena proses pemberdayaan perempuan harus berawal dari pikiran perempuan itu sendiri, dari kesadaran tentang dirinya, hak-haknya, serta kemampuan dan potensinya. Dengan adanya pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang berupaya mengembangkan potensi kemanusiaan berdasarkan Alqur’an dan hadist diharapkan bisa menjadi salah satu tempat untuk dijadikan tempat pemberdayaan perempuan yang bisa meningkatkan kualitas yang dimiliki, juga bagaimana seorang perempuan bisa mempunyai kepribadian yang tidak bertentangan dengan norma-norma islam. (Sumber: lintasmaduranews.com/judul asli:  Feminisme: Pemberdayaan Perempuan dalam Pesantren )

Seterusnya.. | komentar

Batman Teacher, Kumpulan Cerpen Sang Guru Widayanti

Rabu, 06 September 2017

Sang penulis Widiyanti dan bukunya

Sebuah Hantaran

Kegiatan menulis pada hakikatnya adalah suatu proses berpikir yang teratur, sehingga apa yang ditulis mudah dipahami pembaca atau penikmat. Sebuah tulisan dikatakan baik dan menarik apabila tulisan yang disampaikan jelas dan bermakna serta memenuhi kaidah gramatika. Jadi kemampuan menulis seseorang merupakan kemampuan untuk menuangkan buah pikiran, ide, gagasan, dengan mempergunakan rangkaian bahasa tulis yang baik dan benar. Hal ini tentu berlaku pada tulisan apa saja, termasuk didalamnya menulis cerita.

Banyak orang yang pandai bercerita secara lisan, namun kerap mengalami kesulitan saat ingin menuliskan ceritanya menjadi sebuah karya tulis,  sebagaimana yang ada dalam tulisan cerita pendek (cerpen). Hal itu terjadi mungkin karena orang tersebut tidak mengetahui dan menguasai keterampilan bercerita. Namun tidak sedikit pula kedua keinginan tersebut dimiliki seseorang, trampil menulis cerita dan bahkan menceritakan dalam bahasa lisan.

Pada saat ini menulis cerpen dapat dilakukan oleh berbagai kalangan misalnya para artis yang sibuk, para aktifis dan atau siapa saja yang memiliki kemampuan menulis cerita, termasuk dilakukan oleh para guru. Menulis cerpen sangat bermanfaat, karena diantaranya melepaskan beban fikian kedalam sebuah cerita, mengeluarkan unek – unek dari dalam hati dan mampu membebaskan permasalahan kedalam bentuk karya sastra. Namun banyak orang yang mengalami kesulitan saat ingin melakukannya. 

Sesuai dengan sifatnya cerita yang pendek ini, bisa dan dapat dibaca dalam waktu singkat, kapanpun dan dimanapun mereka ada waktu luang. Diperjalanan, di rumah ataupun di ruang terbuka. Hal inilah yang menjadi pilihan para pembaca cerpen, karena saat membacanya tidak perlu tempat tersendiri dan tidak membebani pikiran.

Salah orang guru yang juga cerpenis mencoba mengelaborasi pengalaman pribadinya ke dalam sebuah cerita pendek. Widayanti, S.Pd, yang kini berprofesi sebagai guru SDN Kapedi 1 Kecamatan Bluto, Sumenep, Madura ini mencoba menuangkan imaji kreatifnya dalam buku kumpulan cerpen Batman Teacher. Judul buku ini menjadi pilihan karena “batman” dan “teacher” mempunyai makna tersendiri bagi dirinya lantaran terkait proses kreatifnya pada saat ia bertugas di SDN Kalowang V   (desa Kalowang) wilayah kecamatan Gayam, Pulau Sepudi, Sumenep.

Batman (pada walnya The Bat-Man) adalah tokoh fiksi pahlawan super yang diciptakan oleh seniman Bob Kane dan ditulis  Bill Finger dan diterbitkan oleh DC Comics. Tokoh ini pertama muncul di Detective Comics #27 (Mei 1939). Identitas asli Batman adalah Bruce Wayne, seorang pengusaha yang kaya raya. Nama Bruce Wayne itu sendiri diambil dari nama tokoh sejarah, yaitu Robert the Bruce dan Anthony Wayne.

Batman beroperasi di Gotham City, dibantu oleh Alfred Pennyworth (butler) dan rekannya Robin. Tidak seperti pahlawan super kebanyakan, dia tidak memiliki kekuatan super, ia hanya menggunakan intelegensi, keterampilan sebagai detektif, ilmu pengetahuan dan teknologi, kekayaan, ketangkasan fisik, dan intimidasi dalam memerangi kejahatan. (Wikipedia)

Kisah Batman inilah yang menjadi inspirasi Widayanti Rose kemudian disinergikan dengan latar dan tempat ia bergumul dalam kehidupannya saat di Kalowang. Kalowang mempunyai arti (Madura) kelelawar besar, merupakan makhluk yang sangat menarik dan memiliki kemampuan  indera yang luar biasa dalam penentuan arah, khususnya kemampuan mengindera tempat dan benda dengan suara yang terpantul.

Jadi Batman Teacher dalam  buku cerpen ini akan menjadi sumber inspirasi bagi pembaca, bukan hanya pada kisah yang dituangkan, tapi lebih tajam lagi bagaimana cerita ini menjadi  gerak yang dihidupkan oleh penulisnya. Gerak seorang guru yang telah menautkan kehidupan dalam gerak berjuang dan perjuangan. Tentu suka dan duka akan menjadi ramuan manis tapi romantis dalam sebuah perjalanan panjang dalam kehidupan anak manusia.  Barangkali tulah realitas seorang bila tertambat dalam sebuah pertanggung jawaban pada lingkungan dan dunia masa yang akan datang.

Cerpen ini cukup menarik untuk disimak, juga bisa menjadi tuntutan bagi pembaca, karena dengan sadar kita membaca cerpen ini, akan melahirkan ketidak-sadaran bahwa sebenarnya kita telah masuk dalam jiwa dan semangat tokoh cerita.

Tanpa listrik dan signal, bukan berarti harus selalu terbelakang. Itulah yang ada di benakku. Aku mau siswaku tidak jauh tertinggal, setidaknya dari SD sesama pulau. Mereka harus bisa bersaing dengan siswa di pinggiran. Harus!”

Perbincangan tentang guru, siswa, gedung sekolah,  lingkungan dan sarana jalanan tampaknya menjadi sebuah penjelajahan cukup menarik, karena disini Widayanti Rose mencoba masuk ke sebuah wilayah yang tak mungkin menjadi mungkin. Itulah yang ingin ditampakan dalam cerita ini agar persoalan mengajar tidak tidak selalu bertumpu pada tempat dan waktu, namun juga termasuk ruang menjadi pilihan dari sebuah keberhasilan.

Ada 18 cerpen yang disuguhkan dalam buku ini, yang diawali dari perjuangan awal sebelum memasuki dunia sekolah sampai masuk dalam sebuah proses panjang dari kehidupan seorang guru yang bergerak dan berkembang dalam satu wilayah jauh dari lingkungan keluarga,  itu hal yang unik dan menarik. 

"Mak, aku berangkat tesan ya. Doakan aku" kataku pada emak saat berpamitan untuk ikut tesan CPNS 2008 lalu. 

Sebagai pengalaman pribadi, penulis tidak merasa canggung dengan menceritakan apa adanya, bahkan dengan terbuka menunjukkan  dan menjelaskan yang tampak maupun yang tak tampak dalam plot ceritanya. Menurut saya ini merupakan sebuah pengembaraan jati diri yang demikian sublim dan mampu membangkitkan kedahsyatan, keharuan, bahkan kegelisahan. Meskipun yang sesungguhnya terjadi, tentu, bisa tak sesederhana itu.

Inilah realitas yang telah dijalani oleh sang penulis. Realitas diri maupun realitas pada sebuah wilayah yang disebut “pulau”. Pemahaman “pulau” tak lebih dari sebuah pulau kecil dalam wilayah kepulauan, dan barang tentu latar kehidupan masyarakat sekitarnya masih menganut paham tradisional, sederhana,  bersahaja dan mungkin masih terbelakang dalam menjangkau kehidupan seperti masyarakat perkotaan. Namun Widiyanti Rose justru makin tertantang dan membuktikannya kepada siang pembaca.

Demikian sekedar hantaran saya serta,  mudah-mudahan buku ini menjadi pintu lebar dalam memasuki dunia kreatifitas yang lebih dahsyat lagi. Amin

Lilik Rosida Irmawati
Ketua Rumah Literasi Sumenep

Seterusnya.. | komentar

Nilai Perempuan Dalam Sastra

Rabu, 30 Agustus 2017

“kita akan rindu, tapi kapan-kapan  ada yang yang tak pernah selesai, memang dari sebuah perjalanan begitu juga semua yang kukerjakan di dalam” (Dina Oktaviani, 2006 : 73) 

Karena keindahannya, perempuan sering ditampilkan dalam karya sastra. Sudah seperti menjadi komoditas iklan dalam karya sastra. Karena keindahannya pula, untuk karya sastra yang bobot kehadirannya sama, antara laki-laki dan perempuan, biasanya perempuanlah yang dipilih. Selain karena keindahan, perempuan sering menjadi inspirasi, dalam melahirkan produk apapun. Alhasil, atribut atau sikap yang mencirikan keperempuanan, sebagai potensi kodrati perempuan, kini justru kian menjadi aset dalam serangkaian produksi dan pasar industri kebudayaan. 

Berbagai kalangan berpendapat, ketika kegiatan industri mulai merambahi kehidupan masyarakat, rumah tangga mulai dipandang tidak berkaitan sama sekali dengan kegiatan ekonomi. Sebab, dalam masyarakat industri, laki-laki dipandang sebagai satu-satunya aktor dalam proses produksi. Ketika industrialisasi masih berada dalam tahap-tahap awal perkembangannya, masih terbatas pada pertambangan dan pabrik, hanya tenaga laki-laki yang dibutuhkan sebagai tenaga kerja. 

Sifat pekerjaan industri pada saat itu membutuhkan tenaga fisik yang kuat, dan secara kultural hal itu hanya dimiliki oleh laki-laki. Kaum perempuan karena dipandang lebih lemah fisiknya daripada laki-laki, ditempatkan untuk melakukan pekerjaan di sekitar rumah tangga. Kegiatan yang dilakukan dalam rumah tangga ini cenderung dianggap sebagai kegiatan non-ekonomi, karena yang utama tugas perempuan adalah sebagai ibu rumah tangga. Tugas-tugas rumah tangga, seperti mengasuh anak, memasak, membersihkan rumah, melakukan kegiatan yang berhubungan dengan reproduksi atau konsumsi, dipandang sebagai kegiatan yang non-ekonomi. 

Kaum feminisme tentu saja berusaha meluruskan persepsi dan pandangan tersebut. Mereka berusaha menunjukkan bahwa kaum perempuan justru memberikan konstribusi yang signifikan dalam kegiatan ekonomi meskipun menyandang status ibu rumah tangga. Berbagai studi tentang konstribusi perempuan dalam kehidupan rumah tangga telah pula dilakukan di berbagai tempat. Hasil studi itu memperlihatkan bagaimana ibu-ibu rumah tangga tersebut memberikan konstribusi yang sangat penting dalam kehidupan rumah tangganya. 

Setidaknya, ada lima citra yang dengan itu nilai perempuan dapat dilihat dalam karya sastra, yaitu sebagai citra pigura, pilar, peraduan, pinggan, dan pergaulan. Dalam citra pigura, perempuan digambarkan sebagai makhluk yang harus memikat. Untuk itu, ia harus menonjolkan ciri biologis tertentu, seperti buah dada, pinggul, dan seterusnya, maupun ciri kewanitaan yang dibentuk budaya seperti rambut panjang, betis ramping mulus, dan sebagainya. 

Citra tersebut pada generasi sastra 2000-an berhasil dikupas oleh Ayu Utami dkk. Rata-rata penulisnya memang kaum perempuan. Mereka beranggapan, sudah sejak lama citra perempuan dalam karya sastra didominasi kaum lelaki. Padahal, cuma akaum perempuanlah yang tahu dan memahami kondisi biologis perempuan. Maka, aroma sastra wangi dalam perjalanan kesusastraan kita sangat terasa pada penghujung abad 21, seperti terlihat pada Saman, Larung, Jangan Bilang Saya Monyet, Jangan Bermain-main dengan Kelamiku, dan sebagainya. Penampilan citra pigura ini sangat berbeda pada era NH. Dini, La Rose, Mira W (era 1970-an s.d. 1980-an). 

Sedangkan pada citra pilar, perempuan digambarkan sebagai pengurus utama keluarga. Pengertian budaya yang dikandungnya adalah bahwa lelaki dan perempuan itu sederajat, tapi kodratnya berbeda. Karena itulah, wilayah kegiatan dan tanggung jawabnya berbeda pula. Gerakan kaum feminisme untuk membuktikan bahwa kegiatan ekonomi sangat berkaitan dengan peran perempuan, termasuk yang memosisikan dirinya sebagai ibu rumah tangga, hingga saat ini cukup kuat. Hal ini tentunya merupakan bagian yang penting bagi upaya gerakan feminisme untuk menuntut keadilan dan kesamaan hak dalam kehidupan masyarakat. Juga, tidak memungkinkan untuk memperkirakan sumbangan pekerjaan perempuan terhadap nafkah keluarga dan meramalkan jumlah anggota keluarganya.

Sebagaimana dimahfumi, ada berbagai latar belakang perempuan memasuki pasar kerja. Pertama, untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri dan keluarga, terutama bagi perempuan yang belum bersuami tetapi juga menopang keberlangsungan ekonomi keluarga. Kedua, perempuan tidak lagi bersuami tetapi harus memenuhi kebutuhan anak-anak dan keluarganya. 

Ketiga, masih bersuami namun ikut membantu suami dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan rumah tangganya. Karena itu, pendapatan perempuan akan berpengaruh menyamaratakan terhadap ketimpangan kelas dengan menyamakan perbedaan yang terdapat dalam pendapatan total rumah tangga. Argumen ini bisa saja dapat ditukar dengan cara lain, misalnya penghasilan perempuan adalah terpenting artinya dalam rumah tangga yang para penerima gajinya terdiri dari pekerja kurang terampil dan bekerja pada pekerjaan yang berupah cukup.  

Citra perempuan yang bekerja ini sering terlihat dalam karya sastra. Misalnya, tentang perempuan yang bekerja di tempat hiburan malam, pembantu rumah tangga, perempuan karier, pramugari, sekretaris cantik, buruh industri, dan sebagainya. Citra peraduan menganggap perempuan adalah obyek pemuasan laki-laki, khususnya pemuasan seksual. Sehingga, seluruh kecantikan perempuan, baik kecantikan alamiah maupun buatan (melalui kosmetik), disediakan untuk dikonsumsi laki-laki melalui kegiatan konsumtif. Citra peraduan ini sering dibidik pengarang yang menonjolkan erotisme perempuan. 

Karya-karya sastra wangi yang pernah booming pada awal tahun 2000-an secara vulgar mengeksploitasi keperempuanan dan keperawanan sebagai modal dasar untuk menjatuhkan kaum lelaki. Drama Lysistrata Aristophanes juga menceritakan apa yang terjadi ketika kaum perempuan melakukan mogok seks terhadap kaum lelaki. Untuk citra pinggan, digambarkan bahwa betapapun tingginya perempuan dalam memperoleh gelar pendidikan dan sebesar apapun penghasilannya, kewajibannya adalah di dapur. Berkat teknologi pula, kegiatan di dapur ini tidak lagi berat dan membosankan. Ada kompos gas, mesin cuci, bahan masakan instan, dan sebagainya. Citra pinggan ini misalnya tentang perempuan saleha yang pintar menyenangkan suami dan anak-anak, tentang ibu yang bijaksana terhadap anak-anak,  dan sebagainya, seperti terlihat pada novel Ayat-ayat Cinta (Habiburrahman El-Shirazy), Di Bawah Lindungan Ka’bah (Hamka), Salah Asuhan (Abdul Muis) atau sajak Surat dari Ibu (Asrul Sani). 

Terakhir dalam citra pergaulan, perempuan digambarkan sebagai makhluk yang selalu khawatir tidak tampil memikat dan menawan. Untuk dapat diterima, perempuan perlu melakukan perawatan tubuh secara khusus. Bentuk atau lekuk tubuh, aksentuasi bagian-bagian tertentu dengan menggunakan kosmetik dan aksesoris yang selaras sehingga seorang perempuan bisa anggun dan menawan, mengundang pesona, dan unggah-ungguh fisik perlu dijaga sedemikian rupa agar menarik dan tidak membawa implikasi rendah diri di arena pergaulan luas. 

Citra pergaulan itu kerap dipotret pengarang sebagai obyek bermulanya konflik. Konflik terjadi ketika perempuan secara psikologis menjadi pencemburu karena merasa tidak tampil memikat dan menawan terhadap suaminya, atau suami yang selingkuh terhadap perempuan yang dapat menjaga citra pergaulannya, dan sebagainya. Nah, ilustrasi tersebut menunjukkan, nilai atau mitos perempuan telah dimanfaatkan bersamaan menngkatnya profesionalisme di kalangan sastrawan. Perempuan dianggap lebih efektif merebut khalayak sasaran. Tidak peduli hal itu bisa dikategorikan sebagai proses dehumanisasi perempuan – meminjam istilah Kasiyan (2008) – yang pada akhirnya akan benar-benar merendahkan martabat perempuan. 

Memang demikiankah yang terjadi pada diri perempuan? Nilai perempuan dalam karya sastra barangkali akan selalu sejalan dengan nilai dalam masyarakat. Semakin masyarakat hipokrit dan patriarkis, semakin kuat pula perempuan menjadi simbol represi, dan pada gilirannya perempuan akan semakin diburu oleh industri budaya. ***


Sumber : Rubrik Rebana, Harian Analisa, Minggu 13 Juli 2008, Halaman 7

Seterusnya.. | komentar

Taman Laut

Jumat, 25 Agustus 2017

Ke taman laut, air duka mengalir
terumbu karang pecah bergulir
Seorang penyelam berenang
membawa jantungku. Aku hilang sinar,
percakapan batin pudar

Basah tubuh basah hati, seperti sakit yang berpilin
Atas nama cemburu, rasa yang hampir kulupa
Perlahan bergantungan di ujung bulu mataku

Gelombang pecah berderaian, darah di nadi berkejaran
Pias wajah panas tatapan saat bulat wajah mawar
melambai padamu. Ombak mendebur-debur, dada berloncatan

“hanya namamu terukir di pasir, usirlah khawatir”

peluk aku sepenuh buih di lautan, kekasih
kita dua jiwa yang enggan lepas,
padam api di mataku, sehelai rambutmu
Jatuh di mimpiku

2014


(Puisi Weni Suryandari)

Seterusnya.. | komentar

Karcis Berdarah

Rabu, 23 Agustus 2017

Pentigraf: Lilik Rosida Irmawati



Perempuan itu termangu, genangan air mata bersimbah tetapi dia tak peduli. Beberapa penumpang acuh saja melewati menuju bangku belakang, bus hampir penuh. Rupanya tidak ada satupun penumpang yang bersedia duduk sebangku dengan perempuan yang terisak-isak, wajah murung, tatapan kosong dan pasi. Setelah tengok kesana kemari akhirnya aku memutuskan duduk disebelahnya. Bergidik hatiku ketika bersirobok dengan tatapannya, penuh luka berdarah.

Bus perlahan meninggalkan terminal, mengerling sembunyi dari gelap kacamata kuperhatikan lebih seksama. Usianya sekitar tiga puluh tahun, wajah tirus dan semakin pucat terlihat dari slayer merah maron yang melilit dilehernys. Tujuannya Caruban begitu kondektur mencoret di karcis dengan spidol merah. Tak berapa lama perempuan itu menuliskan sesuatu dibalik karcis dan tangannya bergetar menyodorkan padaku, " aku sedang ingin menuju kesunyian yang abadi,"

Bulu kudukku merinding dan keringat dingin mulai menetes. Tak ada sesuatu yang aneh ketika kutengok depan, kiri dan belakang. Seakan memahami kegelisahanku perempuan itu tersenyum dan mengalihkan pandangan pada karcis yang masih kupegang, darah menetes perlahan. Secara reflek sopir menginjak rem ketika terdengar teriakan ketakutan keluar dari mulutku. Semua mata melongo menatap penuh tanya ketika kuacungkan selembar karcis, darah semakin deras mengucur. Kulihat seringai perempuan itu sebelum tubuhku lunglai, terjatuh.

31-01-2017


Seterusnya.. | komentar

Penulis Sastra Perempuan Bermunculan


 Perempuan dan Sastra

Oleh Dessy Wahyuni

Pembahasan mengenai perempuan sebagai makhluk sosial tidak kunjung surut. Berbagai hal tentang perempuan itu dapat dikupas. Pembicaraan mengenai perempuan sangat menarik, baik bagi kaum laki-laki maupun bagi kaum perempuan. Daya tarik perempuan banyak menghiasi berbagai ruang dalam kehidupan, baik dalam ruang hukum, sosial, politik, ekonomi, seni, budaya, maupun sastra.

Dalam ruang sastra, kehidupan perempuan seringkali menjadi kisah  yang menarik untuk disajikan. Selain itu, ruang kreativitas perempuan dalam menulis karya sastra bukan pula merupakan hal baru. Luka, airmata, doa, keringat, mimpi, lelah, ataupun sesalan memang melumuri diri perempuan, tetapi memberi basis mentalitas untuk olahan kisah. Makna diri sebagai perempuan tidak akan meruntuhkan etos sastra. Kehadiran diri sebagai pengisah hidup justru membuat pengabdian sastra mirip takdir. Hidup perempuan pun bertaburan kisah dan bergelimang makna.

Perlu disadari bahwa posisi perempuan sejak dulu seakan termarginalkan di bawah dominasi laki-laki. Untuk mengakhiri dominasi laki-laki terhadap perempuan yang terjadi dalam masyarakat ini, aktivis perempuan memberontak yang pada akhirnya memunculkan gerakan feminisme, yaitu gerakan menolak segala seuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan dikendalikan oleh kebudayaan dominan (Ratna, 2004).

Feminisme menggabungkan doktrin persamaan hak yang menjadi gerakan terorganisasi untuk mencapai hak asasi perempuan dengan sebuah ideologi transformasi sosial yang bertujuan untuk menciptakan dunia bagi perempuan. Ideologi dalam feminisme ini membebaskan perempuan dengan keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan karena jenis kelaminnya (Humm dalam Wiyatmi [2012]).

Sastra, yang notabene merupakan wujud kebudayaan, turut pula terimbas karena pemikiran dan/atau gerakan pembebasan perempuan ini. Berbagai karya sastra yang berkisah mengenai perempuan bermunculan.

Nasib kaum perempuan Indonesia di tengah dominasi budaya patriarki dapat ditelusuri sejak roman Siti Nurbaya (1920) karya Marah Rusli yang terbit pada masa pra-Pujangga Baru. Menjadi representasi dari keadaan zamannya, dalam novel itu perempuan digambarkan dalam posisi yang lemah dan menjadi “korban” kepentingan orang tua, adat, dan nafsu lelaki. Untuk melunasi hutang ayahnya, Siti Nurbaya harus menikah dengan Datuk Maringgih, lelaki tua yang sudah “bau tanah”.

 Meskipun ditulis oleh pengarang lelaki, yang tidak secara jelas membela kaum perempuan, novel tersebut sebenarnya dapat dimaknai sebagai suatu “kesaksian zaman” tentang nasib kaum perempuan. Karena itu, dalam jangka panjang kesaksian itu dapat mengundang empati terhadap nasib kaum perempuan yang pada akhirnya akan mengundang pembelaan. Kenyataannya, pada pascakolonialisme, Siti Nurbaya cukup memberi inspirasi untuk mendorong kebangkitan kaum perempuan agar tidak bernasib seperti Siti Nurbaya.

Tidak hanya itu, penulis perempuan pun bermunculan. Sariamin Ismail contohnya. Sastrawan perempuan kelahiran 31 Juli 1909 di Kotapanjang, Pasaman, Sumatera Barat ini, dalam menulis, menggunakan beberapa nama pena (samaran), yakni Selasih, Selaguri, Srigunting atau Dikejut, Gelinggang, Setawar, Pulut-pulut, Sritanjung, Ibu Sejati, Bundokandung, Mandeh Rubiah, Kakakmu, Sikejut, Misrani, dan Kak Sarinah. Menurutnya, hal itu ia lakukan agar orang mengira bahwa penulis wanita pada saat itu jumlahnya banyak (bukan hanya dirinya), di samping untuk keamanan dirinya dari mata-mata Belanda yang mengawasi. Puisinya yang berjudul “Seruan”, misalnya, menggunakan nama Selaguri (dimuat dalam Suara Kaum Ibu Sumatera [SKIS], Oktober 1930). Puisinya yang lain, “Ratap Tangis”, menggunakan nama Gelinggang (dimuat di SKIS, Mei 1931). Sementara itu, roman pertamanya, Kalau Tak Untung (Balai Pustaka, 1933), menggunakan nama Selasih. Sebagai guru, sastrawan, dan organisatoris, Sariamin gigih memperjuangkan hak-hak perempuan untuk membangkitkan semangat masyarakat.

Perempuan semakin sering dijadikan tokoh sentral dalam karya sastra, berbagai karya sastra yang lahir menunjukkan hal itu. Pramoedya Ananta Toer dalam beberapa romannya, seperi  Gadis Pantai maupun Larasati,  mengangkat sosok perempuan tangguh dan pemberontak.

Berbeda dengan gambaran perempuan dalam Saman dan Larung karya Ayu Utami yang digambarkan secara frontal. Intinya, pesan yang disampaikan melalui karya sastra itu adalah bahwa perempuan juga memiliki hak atas dirinya. Siapapun tidak berhak memaksa perempuan melakukan apa yang tidak disukainya.

Akan tetapi, kemunculan penulis perempuan ini mencuri perhatian dan menjadi pembicaraan banyak orang pada tahun 2000-an. Pembicaraan ini kerap bernada negatif. Menurut Yetti A.Ka., perayaan (tubuh) diri oleh sejumlah penulis perempuan muda dan cantik dalam karya-karya mereka dianggap liar dan mengangkangi norma-norma agama, sehingga muncul berbagai istilah yang melecehkan, misalnya “Sastra Wangi”, “Sastra Mazhab Selangkangan (SMS)”, dan sebagainya.

Budaya posmodern di tahun 90-an telah memperlihatkan kemunculan ikon perempuan baru: tangguh, seksi, acuh tak acuh, tidak melihat dirinya sendiri sebagai korban, dan menginginkan kekuasaan. Pada dasarnya, posfeminisme ini berusaha mendekonstruksi budaya perempuan dalam kehidupan sosial. Posfeminisme merupakan reaksi melawan perjuangan feminisme tradisional yang membela persamaan perempuan. Dengan kata lain, posfeminisme ini merupakan reposisi feminisme menghadapi realitas patriarki yang berurat akar sehingga terjadi pemarginalan terhadap perempuan (Ann Brooks, 1997).

Yetti berusaha meluruskan hal ini. Ia hadir dengan cerpen-cerpennya yang tidak terjebak dalam kehidupan kosmopolitan dan berpesta merayakan tubuh serta seksualitas perempuan. Dalam empat belas cerpennya yang terkumpul dalam Satu Hari Bukan di Hari Minggu (Gress Publishing, Yogyakarta tahun 2011), misalnya, ia memunculkan sebuah arus perlawanan terhadap kehadiran para penulis perempuan yang seringkali berupaya mendobrak budaya patriarki dalam kehidupan kosmopolitan tersebut.

Perubahan zaman yang terjadi telah menggeser pula (ranah) perempuan dalam khazanah sastra. Sastra, kini, tidak hanya digulati oleh kaum laki-laki dengan ideologi patriarkinya, tetapi perempuan juga dapat mengekspresikan perlawanannya terhadap ketidakadilan gender dengan leluasa. Dengan kemampuannya, perempuan dapat memanfaatkan sastra untuk menunjukkan kedigdayaan dan harga dirinya sebagai perempuan yang cerlang.***

Dessy Wahyuni, peneliti pada Balai Bahasa Provinsi Riau.

(sumber: http://riaupos.co/139465-berita-perempuan-dan-sastra.html#ixzz4qb6z0ssS)

Seterusnya.. | komentar
++++++

Solilokui

Sekilas Penyair

Marlena
 
Fõrum Bias : Jalan Pesona Satelit Blok O No. 9 Sumenep, Jawa Timur; email: forumbias@gmail.com
Copyright © 2016. Perempuan Laut - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website Inspired Wordpress Hack
Proudly powered by Blogger