Home » » Perempuan, Pendidikan dan Lokalitas Madura

Perempuan, Pendidikan dan Lokalitas Madura


Syaf Anton Wr
Perempuan Madura: foto bareng setelah peluncuran buku "Perempuan Laut"
Syaf Anton Wr

Perempuan dan laki-kali pada dasarnya satu kesatuan yang tak terpisahkan dari sebuah wilayah yang namanya masyarakat. Tidak ada masyarakat perempuan dan tidak ada mayarakat laki-kali. Sebab bila tidak ada perempuan maka tidak akan ada masyarakat. Demikian pula bila tidak ada laki-laki juga tidak akan ada masyarakat. Jadi keduanya merupakan sesuatu yang inklusif dan merupakan bagian integral dari masyarakat.

Namun ketika dihadapkan  wilayah kekuasaan,  persoalan ini jadi pelik dan terkesan telah terjadi eksploitasi bahwa perempuan “tidak pantas” mendapat peran lebih di lingkungan masyarakat. Budaya patriarki yang kemudian disebut-sebut sebagai dasar terbangunnya stuktur dominasi dan sub ordinasi yang mengharuskan suatu hirarki dimana laki-laki dan pandangan laki-laki menjadi suatu norma.

Dalam konteks Indonesia, fenomena RA Kartini merupakan awal gerakan perempuan yang menentang patriarki, kemudian disusul nama-nama tokoh perempuan lain mulai terbaca, baik dalam  perjuangan kemerdekaan,  agama, akademisi dan ahli, aktivis, olahraga, pejabat tinggi, pengusaha dan profesional, politik, sastra dan penulis dan lainnya. Sehingga permasalahan ketimpangan gender bukanlah menyoal tentang ketertindasan perempuan oleh patriarki (laki-laki) saja, akan tetapi lebih pada penindasan antara kasta yang satu dengan kasta yang lain.

Perempuan dan Lokalitas Madura
Terbentuknya adat dan kerpibadian orang Madura banyak dipengaruhi satu kondisi karakteristik geografis Pulau Madura. Satu prinsip yang menjadi fenomena orang Madura, ialah dikenal sebagai orang yang mampu mengambil dan menarik manfaat yang dilakukan dari hasil budi orang lain, tanpa mengorbankan kepribadiannya sendiri. Demikian pula orang Madura pada umumnya menghargai dan menjunjung tinggi rasa solidaritas kepada orang lain. Sikap hidup semacam ini, menjadikan orang-orang Madura diluar Madura mudah dikenal, supel serta menunjukkan sikap toleran terhadap sesama.
Sebagai suku yang hidup di kepualauan, orang Madura dijaman dulu kurang mendapat kesempatan untuk berinteraksi dengan dunia luar. Mereka sangat berhati-hati, dan akibatnya sesuatu yang datang dari luar merupakan ancaman bagi dirinya. Meskipun pada dasarnya mereka konservatif, yakni berusaha memelihara dan menjamin nilai-nilai yang mengakar dalam dirinya. Tapi dalam segi yang lain, orang Madura menunjukkan naluri yang kuat untuk menjamin dan bertahan kelangsungan hidup, karena mereka didorong untuk menerima dan memanfaatkan nilai-nilai yang terserap dari luar.
Hal ini dapat digambarkan dalam pandangan hidup Madura yang disampaikan melalui ungkapan-ungkapan berupa saloka, pantun, lagu dan lain-lain, seperti contoh:
Religi: Abhantal omba’ asapo’ angen, (Berbantal ombak berselimut angin). Abhantal syahadat asapo’ iman (Berbantal syahadat berselimut iman).
Tata Krama: Oreng andi’ tatakrama reya akantha pesse singgapun, ekabalanjha’a e dimma bhai paju.  (Orang yang punya budi pekerti yang baik itu seperti uang (emas) singapara, dibelanjakan di mana saja pasti laku). Ta’tao Judanagara, (Tidak mengenal Judanegara)
Persahabatan: //Bila cempa palotan/ Bila kanca taretan  (Setiap beras cempa itu ketan
Setiap teman itu saudara)
Tidak Boleh Sakiti  Orang Lain. //Mon ba’na etobi’ sake’ ja’ nobi’an oreng laen (Kalau kamu dicubit merasa sakit jangan mencubit orang lain)
Baik Hati. Pote atena (Putih hatinya),  Oreng jhujhur mate ngonjur (Orang jujur kalau mati kakinya lurus), Oreng jujur bakal pojur, (Orang jujur bakal mujur)
Kejujuran; //Sabu keccet akopeyan/Somorra bada e daja/Tao lecek sakalean/Saomorra ta’ eparcaja.// (Sawo kecik berbotol-botol/Ada sumur sebelah utara/Pernah berdusta satu kali, seumur hidup tak dipercaya).
Etos Kerja. //Sapa atane bakal atana’/Sapa adhaghang bhakal adhaghing//.(Siapa rajin bertani akan menanak nasi/ Siapa berdagang akan berdaging (tubuhnya padat dan sehat)
Rajin Belajar: //Perreng odi’ ronto bhiruna/Parse jhenno rang-rang tombu/Oreng odhi’ neko koduna/Nyare elmo pataronggu//. (Daun bambu hijau runtuh/Bibit kelapa jarang tumbuh/Orang hidup itu seharusnya/Mencari ilmu dengan sungguh).
Jadi usaha belajar bagi anak (perempuan) Madura itu sudah dikenalkan sejak dini. Namun demikian  ketika disejajarkan dengan sebuah wilayah yang lebih luas lagi, posisi perempuan Madura kerap dihadang oleh persoalan adat dan lingkungan, bahwa kodrat menempati posisi yang paling berarti, dibanding tuntutan kondisi perempuran sendiri.
Meski demikian, adat bukan berarti menjadi sumbu utama membatasi gerak perempuan di Madura. Pada sisi lain, justru adat sendiri yang sebenarnya memberi keleluasaan luas bagi perempuan, contoh; dalam hal membangun etok kerja, solidaritas, penghargaan dan perawatan diri. Bahkan dalam pemahaman kearifan lokal,  penanaman ilmu bagi perempuan Madura  sebenarnya dapat porsi cukup, seperti wajib belajar (mengaji),  membuat ketarmpilan dan bahkan sebagai perancang strategi dalam perang jaman kerajaan masa lalu.
Memang  diakui pada jaman pengetatan tradisi masa lalu, simbolitas perempuan Madura menempati posisi yang paling diagungkan. Pada posisi seperti itu perempuan Madura diumpamakan seperti bunga melati, yang hidup dalam rimbunan daun hijau, dan berfungsi untuk menyerbakkan aroma wangi bagi keluarganya.
Karena cukup menjadi simbol kebanggaan dan penjaga marbatat keluarga dan  lingkungan, perempuan Madura cukup mengurus rumah saja. “jha’ gitenggi asakola, ada’ gunana, dagghi’ abali ka dapor keya”, (tidak penting sekolah tinggi-tinggi, toh akhirnya bekerja di dapur juga)
Kuatnya budaya patriarki masyarakat Madura yang menekan perempuan untuk tetap di ruang domistik, seperti budaya kawin muda dan perlakuan tidak adil terhadap perempuan, termasuk dalam pendidikan, akan lebih tajam jika dilacak dari sini. Kadang ada benarnya juga bila disebut kebudayaan Madura tidak ramah bagi perempuan, namun dari sisi lain makna pendidikan bagi tradisi orang Madura, tidak harus dilakukan secara formal, secara non formal para orang tua telah menjejali ajaran-ajaran melalui bahasa kearifan lokal.
Persoalannya sekarang, dengan makin meningkatnya pertumbuhan peradaban manusia, adakah masyarakat masih mempertahankan satu kondisi sehingga membatasi gerak perempuan. Atau dengan kata lain, sebesar apa posisi perempuan Madura menempati ruang public (public sphere), yang lebih “praktis”, misalnya, hak perempuan (usia sekolah) memperoleh pendidikannya?
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan, Darmaningtyas, (tidak dipublikasikan, 2002), Angka Partisipasi Murni (APM) untuk pendidikan dasar (terutama SLTP) di Madura sangat rendah. Di Sampang, misalnya, APM untuk tingkat SD rata-rata di atas 90%, tapi untuk tingkat SLTP rata-rata masih di bawah 50%. Di Kabupaten Sumenep APM untuk SLTP mencapai 68,87%. Di banding kabupaten lain Sumenep APMnya memang tertinggi.
Pertanyaannya, dalam angka-angka diatas, seberapa besar APM perempuan? Bisa dipastikan bahwa APM perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Sayangnya sampai saat ini belum pihak yang memiliki data yang akurat. Tetapi pada realitasnya — terutama di pedesaan — masih banyak terdapat yang putus sekolah atau tidak bisa melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.
Menarik membaca hasil penelitian Darmaningtyas tentang harapan orang tua di Madura terhadap anak-anaknya berdasarkan jenis kelamin. Harapan terhadap perempuan, meski ia disekolahkan, tetap bersifat domistifikasi peran, sementara harapan terhadap laki-laki lebih didorong ke peran-peran public atau peran di luar rumah. Selengkapnya bisa dilihat dalam table berikut di bawah ini.
Harapan orang tua terhadap masa depan anak sesuai dengan jenis kelamin
Laki-Laki
Perempuan
Jadi orang yang mempunyai tanggung jawab terhadap tugas dan kewajibannya
Berbakti kepada orang tua dan suami
Bertanggungjawab terhadap keluarga
Menjadi ibu rumah tangga yang baik
Penerus perjuangan untuk mengembangkan masyarakat
Menjadi orang yang berakhlak dan berprilaku baik
Bisa meringankan beban orang tua
Menjaga kehormatan pribadi dan keluarga dan patuh kepada suaminya
Menjadi pegawai negeri
Menjadi anak yang pandai
Menjadi guru
Menjadi perawat dan membantu masyarakat
Menyelesaikan sekolah lalu setelah itu mondok

Setelah 13 tahun dari hasil penelitian tersebut adakah hak-hak perempuan dan pengembangan pendidikan masih saja melingkar di pusaran tradisi masyarakat. Tapi yang pasti, harapan penguatan dan konstribusi tokoh agama, pemerintah, bahkan organisasi perempuan menjadi tumpuan uma, bukan hanya “cerdas” dalam tataran wacana semata, sehingga untuk memerangi perempuan putus sekolah, budaya kawin muda dan meningkatkan APM perempuan dalam dunia pendidikan benar-benar terukur seperti yang diharapkan.

Sumenep/2015
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

++++++
 
Fõrum Bias : Jalan Pesona Satelit Blok O No. 9 Sumenep, Jawa Timur; email: forumbias@gmail.com
Copyright © 2016. Perempuan Laut - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website Inspired Wordpress Hack
Proudly powered by Blogger