Home » » Puisi Esai Bukan Genre Baru

Puisi Esai Bukan Genre Baru

Rukmi Wisnu Wardani
Rukmi Wisnu Wardani adalah penyair kelahiran Jakarta, yang telah menulis puisi sejak tahun 2000-an. Di tahun-tahun itu, modem masih bermusuhan dengan CPU. Rukmi pun mesti mencolokkan kabel telepon supaya bisa terhubung ke dunia maya. Plus mesti sabar kalau tiba-tiba koneksinya terputus.

Karena menyukai dunia tulis-menulis, alumnus Universitas Trisakti ini mengikuti beberapa milis di era itu, seperti Puisi Kita, Sastra Sufi, Sastra Malaysia, milis Bunga Matahari, dan beberapa lainnya. Ia dulu paling aktif di milis Penyair, yang kemudian bersama teman-teman membikin Yayasan Multimedia Sastra. Di kemudian hari, nama milis Penyair berganti menjadi Cybersastra.

Sebagai penulis perempuan, sumbangsih  Rukmi terhadap sastra Indonesia yang paling terpenting adalah sedapat mungkin ikut peduli sekaligus ikut menjaganya. Minimal tidak merusak dan tidak merendahkan ranah keilmuan sastra itu sendiri.

Ketika ditanya  polemik sastra Indonesia tentang puisi esai, kata Rukmi pada Sabtu (20/01), “Saya merasa sedih, kesal, marah, dan ikut prihatin. Semestinya, polemik itu tidak berkepanjangan. Namun, ketika ada seseorang dan/atau sekelompok orang yang dengan sengaja melakukan upaya sewenang-wenang: melangkahi ranah bidang keilmuan sastra yang tidak membawa manfaat bagi sastra Indonesia, apalagi sampai diamini oleh beberapa lingkaran, yang semata-mata demi popularitas, kekuasaan, ketenaran, serta terbukti melakukan penyesatan dan pembodohan terhadap publik, sekaligus terbukti memanipulasi sejarah dunia sastra Indonesia, tentu harus diingatkan dan diedukasi. Lebih memprihatinkan lagi, justru adanya sederet nama sastrawan yang dianggap senior malah berpendapat bahwa kedudukan puisi esai di Indonesia menawarkan sebuah kemungkinan yang baru.”

Rukmi menambahkan “Menurut saya puisi esai  itu seperti cerita biasa saja. Padahal, jika dicermati kembali apa itu puisi esai lewat tulisan Saut Situmorang yang berjudul “Adakah Puisi dan Esai dalam Puisi Esai DJA?” jelas kok di sana dijabarkan. Singkatnya, puisi esai merupakan gabungan dua genre sastra, yaitu puisi dan esai. Dengan catatan, bentuknya puisi, tetapi isinya esai. Esai sendiri harus analitis, interpretatif, dan kritis tentang suatu topik. Baca juga status facebook Ahmad Yulden Erwin di media sosial yang menyentil perkataan DJA, termasuk para pengikutnya, yakni dikatakan bahwa inti puisi esai karena adanya catatan kaki!  Padahal, catatan kaki adalah adalah daftar keterangan khusus yang ditulis di bagian bawah setiap lembaran atau akhir bab karangan ilmiah. Catatan kaki biasa digunakan untuk memberikan keterangan dan komentar, menjelaskan sumber kutipan, atau sebagai pedoman penyusunan daftar bacaan (bibliografi).”

Melihat ramainya publik sastra yang menandatangani petisi, sampai muncul pula beberapa gerakan penolakan puisi esai, Rukmi menganalogikan kisah ini dengan seorang dokter. Lalu, tiba-tiba muncul orang yang tidak pernah menimba bidang kedokteran apalagi formal, lantas mengaku sebagai dokter. Namun oleh sebagian kelompok kecil, ia dibenarkan sebagai seorang dokter. Inilah yang sekarang terjadi di sastra Indonesia. Ini yang menimbulkan gerakan penolakan puisi esai.

“Menurut saya, perihal puisi esai itu sudah bukan dalam kategori mengotori, tetapi sudah masuk ke dalam bentuk upaya pembodohan karena berisi kebohongan kepada publik, termasuk memanipulasi sejarah sekaligus merusak bidang keilmuan sastra itu sendiri. Mirisnya, hal itu dikunyah oleh para penulis muda di berbagai daerah. Oleh sebab itu, hal-hal yang dapat mencederai mereka di kemudian hari harus dikabarkan secara meluas dan dihentikan!” ungkap penyair perempuan yang puisi-puisinya telah dimuat di berbagai antologi ini.

Rukmi menambahkan bahwa puisi esai bukanlah genre baru. Hal ini sudah diulas oleh para sastrawan yang memang mumpuni dan sudah meneliti dengan saksama berdasarkan keilmuan yang ada. Bukan sekadar asal-asalan. Ada hal yang sebenarnya membikin lucu dalam upaya pembodohan itu. Coba perhatikan! Segala bentuk yang ada sangkut pautnya dengan puisi esai tak pernah lepas dari unsur uang yang selalu menjadi bayang-bayangnya. Ahda Imran adalah satu di antara sekian banyak penyair yang meneriakkan hal itu. Dengan kondisi ini, jelas kelihatan perbedaannya, seseorang yang memang memiliki nama besar karena kualitas karyanya dan orang yang menginginkan namanya besar dengan memakai pengaruh uangnya.

“Melalui facebook, beragam tulisan maupun status tak henti bermunculan seputar kabar tentang banyaknya para penulis (terutama penulis muda), yang diminta menulis puisi esai berdasarkan pesanan dengan jumlah honor yang menggiurkan. Bagi yang mungkin minim informasi tentang gagalnya genre itu, ‘kan kasihan. Di satu sisi, ia tidak tahu bahwa dirinya sedang dibohongi, sementara di sisi lain ada besaran nilai uang yang menunggu untuk dimiliki jika mau ikutan proyek puisi esai,” ungkap penyair perempuan yang kontra terhadap puisi esai.

Rukmi mengaku pernah punya pengalaman terkait puisi esai sekitar tahun 2013. Waktu itu, beberapa penulis termasuk Rukmi sempat dihubungi oleh Fatin Hamama R. Syam (FH). Dia meminta kesediaan Rukmi dan beberapa teman untuk menulis puisi esai. Honornya Rp3 juta. Rukmi ingat ketika itu bertepatan dengan keberadaan ibunya yang sedang dirawat di rumah sakit.

“Di antara perhatian yang saya dan keluarga curahkan kepada ibu, dengan adanya tambahan dari honor itu (jika saya menulis pesanan puisi esai itu), saya bisa ikut membantu keperluan ibu, juga kebutuhan rumah tangga kami, maka saya mencoba untuk menulis. Namun permintaan itu tak pernah bisa terealisasi, sebab selain menurutku puisi esai DJA itu ganjil karena harus ada catatan kaki, saat itu saya memang sudah berusaha menulis, tetapi gagal untuk dituliskan. Saya sempat mebolak-balikkan halaman buku puisi esai Atas Nama Cinta-nya DJA, tetapi tetap saja saya tidak bisa menuliskannya. Selang beberapa waktu kemudian, ibu meninggal dunia,” tutur Rukmi.

Ketika waktu deadline sudah semakin mepet, Rukmi masih mencoba menulis puisi esai di masa berkabung yang masih sangat kental itu. Anehnya, komputernya mendadak rusak. Tiba-tiba tidak  mau menyala. Sempat pula Rukmi meminjam komputer adiknya. Hasilnya sama: komputernya tiba-tiba rusak juga. Menyala sebentar, kemudian  mati lagi. Terus begitu berulang-ulang. Sampai akhirnya tidak bisa menyala sama sekali.

Yang lebih unik lagi dalam masa berkabung itu, Rukmi secara tidak sengaja sempat berbincang dengan seseorang tentang dua komputernya yang mendadak rusak. Seseorang itu berujar bahwa Rukmi sedang tidak diizinkan menulis, kecuali memperbanyak ibadah serta mendoakan kedua orang tua, terutama ibunya yang baru saja meninggal. Mendengar nasihat itu, Rukmi kaget luar biasa.

“Singkat cerita, saya batal menulis puisi esai dan mengabarkannya kepada FH karena faktanya memang tak satu kata pun tertulis. Tak lama setelah itu, saya kaget saat mendengar gonjang-ganjing seputar polemik buku 33 Tokoh sastra Indonesia Paling Berpengaruh plus buku 23 penyair yang diminta menulis puisi esai itu.  Sungguh, saya sedih mengingat hal itu, terlebih saat membaca nama seorang kawan  sejak zaman Cybersastra, yaitu Sihar Ramses Simatupang (SRS). Ia berjuang menarik tulisannya di dalam buku 23 penulis puisi esai pesanan itu. Hingga saat itu, saya terus mengikuti kabar susah payahnya ia mengumpulkan uang untuk sesegera mungkin mengembalikan Rp3 juta yang sudah diterimanya dan sudah terpakai untuk kebutuhan hidupnya sekeluarga,” ucap Rukmi.

Masih lekat dalam ingatan Rukmi saat SRS menawarkan bonsai kesayangannya, juga beberapa koleksi batu akiknya yang dijual lewat media sosial. Sedih itu bertambah ketika Rukmi ingat, masa-masa awal FH meminta kesediaannya menulis puisi esai. FH kemudian  meminta nomor telepon genggam SRS kepadanya. Rukmi pun langsung memberikan tanpa menanyakan terlebih dulu kepada SRS. Rukmi menyesal sekali. Andai saja waktu itu ia tidak memberi nomor telepon SRS, SRS pasti tak akan sampai mengalami kesulitan seperti itu. Hal selanjutnya yang Rukmi lakukan, yaitu menghubungi SRS dan meminta maaf atas keteledorannya.

“Kalau tak salah ingat, hampir bersamaan beberapa penulis melakukan protes karena merasa diakal-akali FH demi tujuan terselubung, yang semata-mata dilakukan untuk mendongkrak nama DJA. Satu-persatu mengembalikan honor sekaligus menuntut karya mereka dicabut dari buku 23 itu. Lalu mencuatlah polemik buku 33 Tokoh sastra Indonesia Paling Berpengaruh itu.  Nama DJA sebagai salah satu tokoh yang muncul di dalamnya. Di sanalah makin nampak jelas bencana tengah menimpa dunia keilmuan sastra Indonesia. Iwan Soekri juga Saut Situmorang justru dituduh melakukan pencemaran nama baik terhadap FH dan dijerat UU ITE. Malah di kemudian hari, Saut Situmorang dikriminalisasi dan dipidanakan,” kata Rukmi.

Dalam perkembangan kabar yang Rukmi ikuti, Iwan Soekri menempuh jalan damai. Sementara Saut Situmorang tetap bersuara keras menentang dan tak henti mempertanyakan keganjilan yang telah dilakukan oleh tim 8 (para penyusun buku 33 tersebut). Upaya untuk mengadakan debat terbuka pun telah ditawarkan. Namun DJAdan tim penyusun buku iu tidak menghiraukannya.

“Saya juga masih ingat. Di suatu pagi, saat tak sengaja membaca status facebook Saut Situmorang,  Ia memberitakan bahwa rumahnya kedatangan polisi. Ia dijemput paksa dari Yogyakarta untuk dibawa ke Jakarta atas kasus yang pencemaran nama baik yang menimpanya. Di sanalah gelombang penolakan terhadap DJA dan lingkarannya semakin besar,” kata Rukmi.

Rukmi melanjutkan bahwa puisi esai mirip dengan puisi naratif. Sekalipun tidak bisa disejajarkan dengan puisi naratifnya W.S. Rendra, terbitan Balai Pustaka dengan judul Blues Untuk Bonnie. Bedanya jelas, seperti bumi dan langit.

Ketika puan.co menanyakan apakah puisi esai dianggap sebagai genre yang menyimpang sehingga banyak sekali gerakan penolakan terhadapnya? Rukmi mengatakan bahwa ini bukan porsinya untuk menjawab, mengingat kapasitas pendidikannya bukanlah sastra, melainkan Arsitektur. Rukmi hanya bisa bilang bahwa berawal dari upaya para tim penyusun buku 33 Tokoh sastra Indonesia Paling Berpengaruh mengangkat nama DJA, yang disinyalir tak lepas dari faktor uang itu adalah hal yang mengada-ada sekaligus sangat memalukan.

“Lah, wong sudah ada penjelasan dari para sastrawan kok, yang menulis model seperti itu sudah pernah ditulis oleh Alexander Pope, penulis asal Inggris pada abad ke-18. Bukan hanya satu sastrawan loh yang mengatakan hal itu. Kita mesti banyak belajar dari tulisan para sastrawan karena mereka adalah orang-orang yang menjunjung tinggi integritas. Sangat kecil kemungkinan, mereka melakukan akal-akalan dalam menulis esai, kritik, dll. Nama baik mereka dipertaruhkan di sana,” ungkap Rukmi.

Sejak Rukmi mengikuti berita hangat seputar polemik sastra Indonesia yang terjadi (lagi) belakangan ini, ia sadar bahwa menulis itu tidak mudah. Ada pakemnya, ada aturan-aturannya, dan hukum-hukumnya. Buktinya simpel. Adanya fakultas sastra yang berdiri dan tersebar di seluruh dunia menunjukkan bahwa sastra itu salah satu bidang keilmuan. Bukan ranah tempat orang asyik mengkhayal belaka, menuliskan hasil khayalannya, lalu serta-merta mengecap dirinya sebagai penyair, sastrawan,  ataupun tokoh sastra paling berpengaruh. Terlebih lagi kalau ada unsur uang yang bermain di balik itu semua. (sumber: http://puan.co/)

Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

++++++
 
Fõrum Bias : Jalan Pesona Satelit Blok O No. 9 Sumenep, Jawa Timur; email: forumbias@gmail.com
Copyright © 2016. Perempuan Laut - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website Inspired Wordpress Hack
Proudly powered by Blogger