Oleh : Lilik Soebari
PendahuluanSepanjang sejarah kehidupan manusia topik tentang wanita tak pernah selesai menjadi perdebatan panjang, dan menyita waktu. Terlebih-lebih pada tahun-tahun belakangan ini, dimana kesetaraan (gender) menjadi topik yang paling hangat untuk diperdebatkan, terutama oleh kaum muslim. Selama ini wajah perempuan Islam di belahan bumi manapun tidak pernah mampu meloloskan diri dari jaring-jaring patriarkis yang diatasnamakan ajaran Islam. Karikatur penggambaran wanita Islam (muslimah) cuma memuat potret perempuan yang “taat, tunduk dan patuh”, sepenuh-penuhnya ketaklukkan kepada kaum laki-laki (suami). Perempuan hanya tersekat pada konteks, “dapur, sumur dan kasur”.
Sepanjang sejarah kemanusiaan, perempuan pernah berada pada titik nadir dan terendah sebagai makhluk ciptaan-Nya. Sejarah mencatat bahwa perempuan mempunyai posisi yang sangat lemah. Pada masa kejayaan Romawi dan Yunani, perempuan disamakan dengan kotoran najis hasil perbuatan setan. Wanita sama rendahnya dengan barang dagangan yang diperjualbelikan di pasar. Bahkan pada jaman itu, perempuan dianggap tidak mempunyai ruh, sehingga perempuan mengalami berbagai siksaan yang sangat kejam dan di luar batas perikemanusiaan. Pada era kejayaan Persia, perempuan mempunyai kedudukan yang sangat rendah derajatnya. Karena demikian rendah derajatnya, perempuan boleh dinikahi oleh siapapun, ibu, bibi, saudara kandung perempuan, keponakan dan muhrim-muhrim boleh dinikahi.
Di mata orang Yahudi, anak perempuan sama harganya dengan barang dagangan. Bahkan mayoritas laki-laki menganggap bahwa perempuan sebagai laknat dan kutukan. Anggapan semacam itu didasarkan karena wanitalah yang menyesatkan Adam. Sedangkan orang-orang Nasrani menganggap perempuan adalah sumber kejahatan, malapetaka yang disukai, pembunuh yang dicintai dan musibah yang dicari. Sebagai illustrasi, pada tahun 586 Masehi, bangsa Perancis menyelenggarakan sebuah konferensi yang membahas tentang perempuan. Konferensi tersebut membuat satu kesimpulan, “Sesungguhnya perempuan adalah seorang manusia, akan tetapi, ia diciptakan untuk melayani kaum laki-laki saja.”
Pada masa jahilliyah perempuan menjadi bulan-bulanan, Umar Al Faruk Radhiyallahu Anhu menerangkan, bahwa pada masa itu perempuan bukanlah apa-apa, tidak memiliki hak waris, tidak mempunyai hak apapun terhadap suaminya, bisa diceraikan dan dirujuk kapan saja tanpa ada batasan; yang lebih ekstrim anak tertua (laki-laki) berhak mendapatkan istri mendiang ayahnya (ibu tiri) sebagai harta pusaka, sebagaimana harta-harta lainnya. Tak kalah bejatnya adalah ketika seseorang ingin mendapatkan anak yang hebat, maka sang istri akan diserahkan untuk tinggal dan digauli oleh laki-laki yang hebat (bisa seorang penyair atau penunggang kuda yang piawai). Setelah benar-benar hamil, maka istri tersebut akan kembali kepada suaminya.
PendahuluanSepanjang sejarah kehidupan manusia topik tentang wanita tak pernah selesai menjadi perdebatan panjang, dan menyita waktu. Terlebih-lebih pada tahun-tahun belakangan ini, dimana kesetaraan (gender) menjadi topik yang paling hangat untuk diperdebatkan, terutama oleh kaum muslim. Selama ini wajah perempuan Islam di belahan bumi manapun tidak pernah mampu meloloskan diri dari jaring-jaring patriarkis yang diatasnamakan ajaran Islam. Karikatur penggambaran wanita Islam (muslimah) cuma memuat potret perempuan yang “taat, tunduk dan patuh”, sepenuh-penuhnya ketaklukkan kepada kaum laki-laki (suami). Perempuan hanya tersekat pada konteks, “dapur, sumur dan kasur”.
Sepanjang sejarah kemanusiaan, perempuan pernah berada pada titik nadir dan terendah sebagai makhluk ciptaan-Nya. Sejarah mencatat bahwa perempuan mempunyai posisi yang sangat lemah. Pada masa kejayaan Romawi dan Yunani, perempuan disamakan dengan kotoran najis hasil perbuatan setan. Wanita sama rendahnya dengan barang dagangan yang diperjualbelikan di pasar. Bahkan pada jaman itu, perempuan dianggap tidak mempunyai ruh, sehingga perempuan mengalami berbagai siksaan yang sangat kejam dan di luar batas perikemanusiaan. Pada era kejayaan Persia, perempuan mempunyai kedudukan yang sangat rendah derajatnya. Karena demikian rendah derajatnya, perempuan boleh dinikahi oleh siapapun, ibu, bibi, saudara kandung perempuan, keponakan dan muhrim-muhrim boleh dinikahi.
Di mata orang Yahudi, anak perempuan sama harganya dengan barang dagangan. Bahkan mayoritas laki-laki menganggap bahwa perempuan sebagai laknat dan kutukan. Anggapan semacam itu didasarkan karena wanitalah yang menyesatkan Adam. Sedangkan orang-orang Nasrani menganggap perempuan adalah sumber kejahatan, malapetaka yang disukai, pembunuh yang dicintai dan musibah yang dicari. Sebagai illustrasi, pada tahun 586 Masehi, bangsa Perancis menyelenggarakan sebuah konferensi yang membahas tentang perempuan. Konferensi tersebut membuat satu kesimpulan, “Sesungguhnya perempuan adalah seorang manusia, akan tetapi, ia diciptakan untuk melayani kaum laki-laki saja.”
Pada masa jahilliyah perempuan menjadi bulan-bulanan, Umar Al Faruk Radhiyallahu Anhu menerangkan, bahwa pada masa itu perempuan bukanlah apa-apa, tidak memiliki hak waris, tidak mempunyai hak apapun terhadap suaminya, bisa diceraikan dan dirujuk kapan saja tanpa ada batasan; yang lebih ekstrim anak tertua (laki-laki) berhak mendapatkan istri mendiang ayahnya (ibu tiri) sebagai harta pusaka, sebagaimana harta-harta lainnya. Tak kalah bejatnya adalah ketika seseorang ingin mendapatkan anak yang hebat, maka sang istri akan diserahkan untuk tinggal dan digauli oleh laki-laki yang hebat (bisa seorang penyair atau penunggang kuda yang piawai). Setelah benar-benar hamil, maka istri tersebut akan kembali kepada suaminya.
Banyak sekali cerita yang mengisahkan tentang rendahnya harkat dan martabat perempuan. Berbagai pelecehan dan perlakuan tidak manusiawi telah menempatkan perempuan pada titik terendah sebagai makhluk ciptaan-Nya. Setelah itu datanglah Islam untuk melepaskan perempuan dari belenggu kenistaan dan perbudakan terhadap sesama manusia. Islam memandang perempuan sebagai makhluk mulia dan terhormat, makhluk yang memiliki hak yang disyariatkan oleh Allah SWT.
14 abad telah berlalu, kemuliaan dan ketinggian derajat dan martabat yang diberikan oleh Islam kepada perempuan mengalami berbagai perubahan dan kemunduran. Setelah jaman keemasan Islam runtuh, runtuh pula penghargaan tinggi yang diberikan kepada perempuan. Sejarah mencatat bahwa perempuan kembali terpuruk dan menjadi makhluk yang tak berharga, hanya menjadi penunggu rumah serta tidak mempunyai hak apa-apa.
Perempuan
dan Kesetaraan
Kesetaraan gender yang diperjuangkan
oleh perempuan, lambat laun telah membawa perubahan yang cukup signifikan.
Hak-hak azasi perempuan telah mencapai titik maksimal dan mengalami perubahan
yang sangat cepat. Terlebih-lebih setelah perang dunia ke I dan PD II, ketika
perempuan mulai tampil di arena publik untuk menggantikan posisi laki-laki
yang berkurang akibat menjadi korban
perang. Dengan bekerja di sektor publik, kaum perempuan mulai memahami dan menyadari akan status dan
hak-haknya. Dinamika gerakan kesetaraan gender ini lambat laun merambah ke
belahan dunia ketiga yang baru memperoleh kemerdekaan.
Kemerdekaan yang diperoleh oleh
beberapa negara di dunia ketiga telah membukakan sebuah kesadaran baru perlunya
kesetaraan gender. Kesadaran tersebut terutama dihembuskan dan diperjuangkan
oleh perempuan-perempuan yang tinggal di kota
besar dan mendapat pendidikan tinggi. Kelompok elit di kalangan perempuan
perkotaan melakukan gerakan-gerakan feminisme, dan melakukan proses
demokratisasi dan konsep hak-hak azasi manusia. Kesadaran yang lebih tinggi
akan kesetaraan gender, juga telah memberikan dampak pada upaya perumusan
undang-undang tentang keperempuanan. Undang-undang keperempuanan tradisional
semakin ditinggalkan oleh masyarakat modern.
Namun demikian perjuangan
tersebut mengalami beberapa hambatan, diantaranya adalah adanya kelompok
ortodoks yang masih sangat kuat. Kelompok ini menolak melakukan perubahan dan
tetap mempertahankan undang-undang tradisional. Undang-undang tradisional
merupakan produk dari masyarakat kesukuan dan masyarakat feodal, di mana
perempuan memiliki peranan yang subordinat
dan dibatasi hanya dalam wilayah domestik, dan perempuan hanya
ditempatkan pada posisi sekunder.
Walau banyak kesulitan gerakan
feminisme terus mengalami perkembangan.
Banyak perempuan, khususnya kelompok elit yang memiliki strata sosial tinggi
mampu melakukan perubahan-perubahan yang berarti dalam masyarakatnya. Contoh
nyata tersebut dapat disimak dari perjalanan R.A Kartini sebagai sosok terdepan
penggerak serta penggagas kesetaraan gender. Melalui tulisan (surat-surat),
yang terangkum dalam buku, “Habis Gelap Terbitlah Terang”,
pikiran-pikiran beliau tentang persamaan hak, tentang pentingnya pendidikan
perempuan, peranan wanita sebagai pendidik pertama dan utama, tentang
penguasaan ilmu pengetahuan dan agama, wawasan yang luas, ber-budaya, berbudi
luhur, ber-kepribadian, berwatak dan mempunyai moralitas tinggi merupakan
esensi dari perjuangan R.A Kartini untuk kaumnya. Butir-butir yang disampaikan
oleh R.A Kartini tersebut merupakan modal utama bagi perempuan untuk membangun
sebuah peradaban, dan itu berkaitan langsung dengan peranan perempuan sebagai
garda terdepan sebagai pen transfer ilmu kepada anak bangsa. Di pundak
perempuan tugas mulia tersebut dibebankan, karena peranan pertama yang dipikul
oleh perempuan (ibu), adalah dalam hal pendidikan moral dan peletakan dasar
watak dan kepribadian anak didik. Surat-surat R.A Kartini ternyata mampu
memberi nafas serta inspirasi bagi perjuangan kaum perempuan di era berikutnya.
Lambat laun, derajat perempuan
semakin terangkat, doktrin mengenai hak, martabat dan derajat kaum perempuan
mulai diselaraskan serta dikemas secara utuh dalam pondasi kuat, sehingga
hak-hak perempuan semakin ditegakkan. Dalam percaturan politik dunia, wanita
menepati sektor penting serta memegang peranan ganda. Dari tokoh-tokoh dunia,
muncullah Indira Gandhi, Margaret Teacher, Golda Mriyer, Corazon Aquino, Benazi
Butto dan lainnya. Sedangkan di Indonesia, telah dikenal nama R.A Kartini, Cut
Nyak Dien, Cut Meutia, Nyi Ageng Serang, Dewi Sartika, Ranua Said dan masih
banyak lagi yang merupakan perwujudan kebangkitan perempuan dalam proses
pembangunan.
Dalam sejarah kebangkitan
Islam, tokoh-tokoh dan pejuang perempuan Islam cukup dikenal, diantaranya Siti
Aisyah sebagai ahli Hadist, fiqih, faraid, asbabun nuzul Qur’an, selain sebagai
pejuang dalam peperangan membantu perjuangan agama Islam. Siti Hapsah binti
Umar dikenal sebagai guru para muslimat dalam membaca dan menulis Qur’an pada
awal sejarah Islam. Dalam percaturan politik, dikenal nama Fatimah binti
Rasullullah, Aisyah binti Abubakar, Atikah binti Yasid, Ummu Amarah, Nusaibah,
Shofiq binti Abu Tholib dan Hatumah. Dan masih banyak lagi tokoh-tokoh wanita
Islam lainnya yang bergerak dalam bidang sastra, kedokteran dan para hafidhah
Al-Qur’an.
Ukiran sejarah perempuan
diawali oleh Kongres Perempoean, 22 Desember 1928. peristiwa tersebut merupakan
tonggak sejarah pergerakan perempuan Indonesia. Dalam proses
selanjutnya, perjuangan kaum perempuan tidak terbatas pada sekedar menuntut
hak, tapi bagaimana menciptakan iklim perubahan yang sama kepada setiap warga
negara, yaitu dapat ber peran serta dalam pembangunan nasional. Dari iklim yang
demikian itu lahirlah sosok dan profesinya.
Secara kodrati dalam beberapa
hal memang masih terjadi perbedaan perempuan dan kaum laki-laki. Dari perbedaan
itulah muncul kelebihan-kelebihan yang mungkin sulit ditemukan pada kaum pria.
Substansi perempuan sebagai totalitas, mampu memberikan nilai lebih pada
kepentingan diri maupun masyarakat, yaitu terbentuknya dimensi dan sifat-sifat
kodrati kewanitaan lengkap dengan atribut, sehingga tak jarang mengarah pada
jenjang karir yang profesionalisme.
Dalam pertumbuhan emansipasi
perempuan pada dekade ini, sudah hampir disebut tidak ada kesenjangan, bahkan
jarak antara peran pria dan perempuan telah menjadi ujud kesatuan dalam
perannya menentukan kelayakan sama dalam struktur masyarakat modern. Pelecehan
dalam pameo, wanita sebagai “wong wingkin” atau “swargo nunut, neraka
katut”, lambat laun makin menipis dan tidak tertutup kemungkinan pelecehan
tersebut terbalik diarahkan pada kaum pria. Namun demikian, sinyalemen di atas
tergantung sejauh mana pemahaman perempuan tentang emansipasinya. Paling tidak
perempuan bukan lagi menjadi bagian terpenting urusan belakang, baik sebagai
ibu rumah tangga maupun sebagai penentu sikap dan perubahan masalah ekonomi,
sosial masyarakat maupun dunia luar.
Keberhasilan yang dicapai oleh
kaum perempuan dalam memperjuangkan emansipasi dan kesetaraan gender masih
belum maksimal, hal itu dapat dicermati dari perjuangan kaum feminis untuk
mendapatkan hak yang sama dengan kaum pria, salah satunya adalah hak
ber-politik. Dengan terjun ke arena politik yang didominasi kaum pria, maka
perempuan akan mampu mengambil keputusan yang berkaitan dengan dirinya sendiri,
keluarga maupun komunitasnya, dan negara. Hal ini disebabkan banyak sekali
keputusan-keputusan yang diambil sebagai kebijakan publik, tidak mewakili
aspirasi perempuan. Dengan memasuki
arena politik, kaum perempuan mampu menentukan sikap dalam pengambilan
keputusan dan menentukan keputusan tersebut (akses dan kontrol atas keputusan
politik).
Keberanian kaum perempuan
merambah area politik berangkat dari besarnya jumlah kaum perempuan di
Indonesia yang mencapai 52 %, namun hanya mendapat kuota 30 % di lembaga
Legeslatif. Perjuangan panjang perempuan
dalam arena politik dilatarbelakangi akibat adanya ideologi patriarki, yang
ditandai oleh ketidak-adilan yang
bersumber pada dominasi kekuasaan laki-laki terhadap perempuan, hubungan
kekuasaan berbasis umur, kelas sosial, keturunan, suku, bangsa, bahkan agama,
ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ketidak-adilan seperti itu selalu memunculkan apa yang disebut
sebagai kekerasan, diskriminasi, Stereotipi, dominasi dan beban ganda bagi perempuan di dalam keluarga, di kampung,
di tempat ibadah, di tempat kerja, di pasar, di sekolah, dan juga di lembaga
legeslatif, pemerintahan dan peradilan. Sehingga rumusan yang diperjuangkan
oleh kaum perempuan di area politik terdiri dari tujuh kepentingan perempuan,
yang dirumuskan sebagai berikut: (1)
Perwujudan perdamaian, (2) Pemberantasan korupsi, (3) Pembebasan dari hutang
negara, (4) Penegakan hak azasi manusia, (5) Penghapusan semua bentuk
diskriminasi, (6) Pengembalian kedaulatan rakyat, dan (7) Penguatan akses dan
kontrol perempuan terhadap pengambilan keputusan di dalam partai politik,
Perjuangan tersebut disuarakan
oleh perempuan dengan berpijak pada kenyataan bahwa partai politik atau
politisi pada umumnya kurang memahami masalah perempuan, juga tidak peduli
dengan kepentingan perempuan. Ketidakpedulian tersebut ditunjukkan dengan hasil
riset yang dilakukan oleh Solidaritas Perempuan terhadap beberapa partai pemilu
2003 di empat kota yaitu, Jakarta, Palembang, Yogjakarta dan Makassar. Hasil
riset menunjukkan bahwa program maupun aturan internal sebagian besar partai
politik tidak mengakomodir kepentingan perempuan. bahkan beberapa partai
politik memiliki sikap yang berlawanan dengan kepentingan perempuan. faktor
ketiga adalah, kecenderungan partai-partai politik atau politisi
berpihak pada kepentingan pada
para pemilik modal dari berbagai negara industri.
Bersambung : Dari Kodrat,Emansipasi dan Profesi
0 komentar:
Posting Komentar