Home » » Isu Perempuan dalam Puisi Esai

Isu Perempuan dalam Puisi Esai


Fatin Hamama R. Syam
 Puisi esai di mata Fatin Hamama R. Syam (FH) sama pentingnya dengan puisi-puisi konvensional di Indonesia. Bedanya, puisi esai lebih mengangkat isu-isu sosial yang selama ini belum banyak diangkat ke dalam puisi, juga ada unsur ilmiah dan riset. Sebab masalah-masalah sosial di Indonesia saat ini sangat kaya dan beragam.

Bila biasanya banyak yang bosan membaca data saja, kini data itu diolah ke dalam puisi agar bisa lebih menarik di mata pembaca. Puisi esai menurut FH adalah perpaduan antara fakta dan fiksi.

“Semuanya tergantung niat dan sudut pandang. Bila kita menyikapinya dengan positif untuk membangun kebudayaan, memberikan kontribusi, dan mencari kemaslahatan untuk Indonesia, semuanya akan menjadi baik,” ungkapnya via telepon

Dari 34 provinsi se-Indonesia, penulis puisi esai sebagiannya adalah perempuan. Perbandingannya dengan penulis laki-laki sekitar 1:3. Dari Jakarta ada 2 penyair perempuan, selebihnya 1 penyair perempuan, sebut saja dari Aceh, Medan, Riau, dan Sumbar. Namun, FH tidak melihat latar belakang penulisnya sebab nama besar seorang penulis belum tentu menjamin kualitas karya.

“Semua penulis di mata saya adalah sama, baik itu penulis baru maupun lama. Semuanya punya tempat. Kita tak bisa memilah-milah berdasarkan nama. Banyak yang sudah punya nama, bisa jadi dalam satu karya ia lemah. Banyak yang belum punya nama besar, bisa saja ia lebih bernas. Pada akhirnya, yang menilai adalah masyarakat” ungkapnya.

Sejauh ini, isu-isu perempuan dalam puisi esai menjadi bagian yang penting. Dalam proyek penulisan puisi esai nasional jilid II ini, ada isu tentang perempuan yang sangat menarik. Dari Bengkulu, misalnya. Ada yang mengangkat masalah Yuyun, anak yang diperkosa kemudian dilempar ke jurang. Selain itu, ada juga kisah cinta Fatmawati dan Soekarno.

Dalam buku puisi esai berjudul Atas Nama Cinta yang ditulis DJA, beberapanya mengangkat isu-isu perempuan, misalnya kisah tentang Fang Yin – si gadis Tionghoa yang diperkosa saat tragedi Mei 1998, kisah cinta beda keyakinan, kisah TKW yang membunuh majikan karena dilecehkan, dan lain sebagainya. Puisi esai memang lebih banyak mengangkat tema-tema sosial, seperti diskriminasi, perebutan tanah, perebutan hak waris, kriminal, dan masih banyak lagi.

Dengan adanya berbagai isu sosial ini, terutama mengangkat permasalahan perempuan, FH mengatakan ini sebagai upaya menyuarakan ketidakadilan atas nama perempuan.

“Kalau kita berpikir lebih objektif dan ada suatu kesadaran, saya merasakan ada ketimpangan. Terlalu banyak mereka yang menghujat tanpa melakukan sesuatu. Kebanyakan melihat celah buruknya saja. Saya ingin orang melihatnya dengan jernih. Jika puisi esai menjadi perbincangan, mengapa mereka tidak membuat sesuatu yang juga baru? Supaya kebaruan itu juga akan menghiasi taman bunga sastra dengan keberagaman yang lain. Sastra Indonesia bisa menjadi lebih kaya,” tuturnya.

FH – penulis buku puisi berjudul Papyrus (Love, 2006) sekaligus koordinator penulisan puisi esai di Indonesia bagian barat – mengatakan bahwa dirinya juga pernah menulis puisi esai berjudul “Jelaga Kembang Raya”. Puisi ini menceritakan tentang seorang perempuan yang lama hidup di jalanan semenjak ayahnya kawin lagi. Hidupnya sangat melarat sehingga membuatnya harus mencuri demi bertahan hidup. Sejak SD, ia telah dijuluki sebagai pencuri. Ketika SMP, ia rela menjual tubuhnya demi mendapat apa saja yang bisa dimakan. Kemudian ia berpetualang mencari cintanya di jalanan. Di sepanjang hidupnya, ia menaruh dendam yang besar terhadap ayahnya.

Pertama kali puisi esai hadir di Indonesia sekitar tahun 2013. Keberhasilan puisi esai khususnya dalam mewacanakan persoalan  sosial di Indonesia, menurut FH dirinya belum bisa menyampaikan keberhasilan itu. Sebab ini masih proses menanam bibit.  Di Indonesia sendiri, puisi esai baru tumbuh dan berkembang. Namun, FH melihat proses ini sebagai suatu usaha positif dalam mengembangkan kebudayaan.

Banyak yang beranggapan bahwa puisi esai tidak sesuai dengan pakem yang ada. FH mengatakan bahwa dalam berkarya, setiap orang dilindungi undang-undang untuk berkarya selagi tidak melanggar hukum.

”Bila memang puisi esai tidak sesuai dengan pakem yang  ada, lalu bagian mana dari puisi esai yang menyalahi undang-undang? Apa orang tidak boleh berkreasi?” tambahnya.

Mengenai mereka yang mengundurkan diri dari penulisan puisi esai, Fatin menuturkan bahwa dirinya tidak menerima transfer pengembalian itu. Semua masalah keuangan ditangani oleh bendahara.  Oleh bendahara, uang itu dikembalikan lagi ke yang bersangkutan sebab uang tersebut sudah menjadi hak penulis. Penulis yang menyatakan mundur dari puisi esai, puisinya akan tetap dimuat karena sesuai dengan perjanjian awal kontrak di atas meterai. Menurutnya, kesepakatan yang telah dibuat tetaplah harus dihormati.

Ketika puan.co menanyakan kepada FH terkait mereka yang mengundurkan diri, FH menuturkan bahwa ia tidak mau menyinggung masalah tersebut karena bisa memperkeruh suasana.

“Apa pun yang saya tuturkan nantinya, di mata orang yang tidak suka, yang saya ucapkan pastilah salah. Mereka yang suka puisi esai saya hormati, mereka yang tidak suka puisi esai juga saya hormati. Saya hanya kurang bisa menerima bila ada yang berkomentar kasar dan menyakiti. Buat dan ciptakanlah sesuatu yang baru! Jangan orang yang berkaryanya yang ditolak! Semua harus berangkat dari sisi positif, maka semua yang terlihat adalah hal baik.”

Lalu, di mana peran perempuan bila ada orang-orang berkomentar kasar?

“Kembalilah ke rumah! Ajari anak-anak untuk tidak berkata kasar! Ajari anak-anak menggunakan bahasa yang santun! Kalau seorang ibu terbiasa berbicara kasar dengan anak-anaknya, itulah yang akan kita tuai. Saya ibu beranak dua dan nenek dari seorang cucu. Pesan saya kepada para perempuan ‘Jangan pernah memaki anak! Gunakanlah bahasa yg baik!’ Jangan bilang bandel atau nakal, tapi carilah kata yang lebih baik! Sebab lidah seorang ibu itu keramat. Besarkanlah anak dengan kasih sayang! Bahasa adalah salah satu medium yang penting untuk berkomunikasi,” tuturnya.

Menurut FH, perbuatan bully, melecehkan, menista, dan persekusi itu sudah diatur dalam undang-undang. Yang suka melakukan persekusi adalah mereka yang kehilangan  bahasa batin. Sementara bahasa batin adalah bahasa ibu yang disampaikan kepada anaknya.

“Ketika ada yang berkomentar kasar  ke saya, saya tidak akan membalasnya dengan caci maki sebab saya menghindari perdebatan. Siapa pun yang berkarya, saya akan mendukung. Saya juga akan menghargai setiap karya karena kita berkarya dijamin undang-undang. Sebab kita punya kemerdekaan untuk bekarya.

Fatin hanya berharap bila ada yang melakukan kesalahan, jangan langsung menghakimi. Kita harusnya saling membina, bukan membinasakan. Hingga saat ini, FH sudah bersedia berbicara dengan teman-teman di ruang terbuka.

Berbeda pula dengan Sri Asih, penulis lima belas buku asal Pasuruan Jawa Timur. Dirinya mengaku sempat sangat ingin mengikuti lomba puisi esai yang berhadiah Rp5 juta. Namun sayang, penulis paruh baya ini tidak sempat mengikuti karena waktunya bersamaan dengan ibadah haji.

“Proyeknya tentu tertarik sebab uang hadiahnya bisa digunakan untuk membeli laptop. Bagi saya, penulis memiliki kebebasan untuk berkreasi, berimajinasi, serta menuangkan ide dan suara hati, termasuk DJA dan polemik yang berkembang,” ucapnya. (sumber: http://puan.co/)
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

++++++
 
Fõrum Bias : Jalan Pesona Satelit Blok O No. 9 Sumenep, Jawa Timur; email: forumbias@gmail.com
Copyright © 2016. Perempuan Laut - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website Inspired Wordpress Hack
Proudly powered by Blogger